Rabu, 31 Januari 2018

MAJHAB 4

Fikih merupakan ajaran Islam tentang hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an (3%) sebagai dasar hukum yang diperjelas dengan hadits Nabi SAW. Mazhab fikih pengertiannya adalah “tempat tujuan atau rujukan pemahaman hukum Islam”.

          Mazhab sebagai aliran fiqih, terdapat empat mazhab terkenal. Keempat mazhab fikih Islam yang pada umumnya diakui ekistensinya di dalam masyarakat muslim dan termasuk golongan ahli sunnah diantaranya Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi. Semua ummat Islam apapun mazhabnya haruslah menjadikan Rasulullah SAW sebagai panutannya [1], terutama dalam bersikap dan moral kehidupannya sebagai orang yang jujur, ikhlas, sabar, tegar, amanah, penyayang, terbuka, taat beribadah maupun beramal-sholeh, ramah, berakhlaq dan sebagainya.
          Ada pula mazhab Syi’ah (salah satu sektenya Rafidiyah: terkenal bersikap menolak ke-khalifah-an Abu Bakar, Umar, dan Usman. Mereka hanya mengakui ke-khalifah-an Ali). Mazhab lainnya yaitu Zhahiri, Dhahiriyah / Dawudi dinisbatkan oleh Dawud Ibn Khalaf, Zaydy, Awza’i, Jaririyah dibentuk oleh al-Thabari, Sofyan dan oleh al-Tsawri. Namun sejumlah mazhab tersebut tidak berkembang dan tidak bertahan. Mazhab Ja’fari adalah sebagai pelopor lahirnya mazhab-mazhab lainnya.
          Mengapa kita perlu mengenal perbedaan yang ada diantara penganut aliran ke-Islaman tertentu, terutama mengenai fikih dan perbandingan mazhab? Ini dimaksudkan agar supaya ada saling pengertian antar golongan dan tidak saling memutlakkan pendapat pribadi atau golongan sebagai yang paling benar, supaya tidak mudah memvonis seseorang atau golongan lain sebagai aliran sesat, disamping untuk menambah pengetahuan ke-Islam-an dan ke-Iman-an kita. Juga menekankan perlunya pemahaman yang baik mengenai ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan ummat Islam). Sebagaimana disebutkan Al-Qur’an: “Sesungguhnya semua orang yang  beriman itu bersaudara, maka damaikanlah diantara dua saudaramu, bertaqwalah  kepada Allah mudah-mudahan kamu mendapat rahmat-Nya”. Maksudnya adalah kompromi (give and take), tidak boleh mengklaim sebagai yang paling benar. Dan tidak perlu ada kekerasan serta pemaksaan terhadap golongan lain untuk mengikuti atau mengakui apa yang menjadi keyakinan kelompoknya. Haruslah dipahami bahwa Islam itu adalah ‘damai’ dan perbedaan-perbedaan itu adalah ‘wajar’ serta dapat pula diambil hikmahnya. Perbedaan-perbedaan terutama fikih ini sudah terjadi sejak masa Rasul dan masa para sahabat. Diantaranya kasus Abu Bakar dan Umar, Ibn Mas’ud dan Utsman, juga masalah menyembelihan dan bercukur dalam hajji, tayamum dan shalat lagi, dan sebagainya.
            Ada beberapa catatan mengenai perbedaan pendapat fikih seperti dalam hal shalat, masalah perkawinan dan lainnya. Adapun contohnya sebagai berikut ini:
  • Dalam masalah shalat: mengusap kepala dalam wudhu menurut ahli sunnah mazhab Maliki seluruh kepala tanpa telinga, mazhab Syafi’i sebagian kepala, mazhab Hanafi seperempat kepala, mazhab Hambali seluruh kepala dengan telinga, dan kelompok Syi’ah yaitu mazhab Ja’fari sebagian kepala depan. Membaca surat Al-Fatihah dalam shalat fardhu menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah wajib dalam semua rakaat, sedang Hanafi tidak wajib, dan menurut Ja’fari wajib dalam dua rakaat pertama. Dalam hal mengucap salam menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah wajib, menurut Hanafi tidak wajib dan menurut Ja’fari adalah sunnat. Dalam hal Qunut Subuh dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi melakukan Qunut Subuh dan Maghrib, menurut Maliki dianjurkan (mustahabb), Syafi’i sunnat, dan menurut Hanafi tidak boleh. Dalam shalat jamaah Jum’at jumlah minimal menurut Maliki 12 orang laki-laki, Syafi’i dan Hambali 40 orang laki-laki, Hanafi 5 orang laki-laki, dan Ja’fari 4 orang laki-laki. Wudhu menyentuh wanita menurut Maliki batal kalau dengan telapak tangan, Syafi’i dan Hambali adalah batal, Hanafi dan Ja’fari tidak batal. Shalat jamak karena bepergian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah boleh, sedang Hanafi adalah tidak boleh, dan Ja’fari mewajibkan. Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi melakukan jamak tanpa sebab (tidak bepergian, tidak hujan dan tidak pula sedang berperang). Menurut Syafi’i dan Hambali adalah boleh, sedang Maliki dan Hanafi tidak boleh dilakukan, dan menurut Ja’fari adalah wajib. Shalat berjamaah menurut Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Ja’fari adalah sunnat, sedangkan Hambali adalah wajib. Dan untuk shalat Tarawih menurut Syafi’i, Hanafi dan Hambali 20 rakaat, dan  Maliki 36 rakaat.
  • Dalam masalah perkawinan: akad nikah tanpa wali menurut Syafi’i dan Hambali adalah batal, menurut Maliki, Hanafi dan Ja’fari adalah sah. Adanya saksi dalam akad nikah menurut Syafi’i, Hanafi, Hambali adalah wajib, menurut Maliki tidak wajib dan Ja’fari dianjurkan (mustahabb). Walimahan menurut Syafi’i adalah wajib dan Maliki adalah sunnat. Kifarat bila bersetubuh pada bulan Ramadhan menurut Syafi’i hanya pada pria saja, sedang Maliki pada pria dan wanita. Bermain-main (bukan bersetubuh) pada saat haid menurut Syafi’i dan Hanafi  adalah haram kalau tanpa aling-aling (pakaian / kain), menurut Maliki adalam haram, sedang Hambali dan Ja’fari adalah boleh. Saksi dalam talak  menurut Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali adalah tidak perlu, sedangkan menurut Ja’fari adalah wajib.
  • Dalam masalah lainnya: seperti masalah air mani menurut Syafi’i dan Hambali adalah suci, sedang menurut Maliki, Hambali dan Ja’fari adalah najis. Wudhu kemudian muntah menurut Syafi’i, Maliki dan Ja’fari tidak batal, menurut Hanafi batal jikalau penuhi mulut, dan bagi Hambali adalah batal. Bermalam di Mina pada hari Tasyriq menurut Syafi’i dan Maliki adalah wajib, Hanafi sunnat, Ja’fari dan Hambali adalah boleh. Menyentuh mushaf Qur’an tanpa wudhu menurut Maliki, Syafi’i dan Hanafi adalah haram, sedangkan menurut Hambali dan Ja’fari boleh dengan aling-aling. Buka puasa dalam perjalanan menurut Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali adalah boleh, dan menurut Ja’fari justru diwajibkan. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan  lainnya.
           Dalam sejarah pengkajian fikih, bermunculan ahlu mazhab, antara lain: Hasan Basri, Ats Tsaury Ibnu Abi Laila, Al Auza’iy, Al Laitsi dan Imam Dawud Al Zhairi. Perkembangan dari waktu ke waktu, setelah diadakan evaluasi dan seleksi sampai saat ini hanya empat mazhab yang mendapat dukungan para ulama yaitu Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi.
1.   Mazhab Maliki                                                                                                 
              Imam Maliki (Malik ibn Anas Al Ashbaqi 93-179 H) lahir di Madinah pada tahun 93 H / 712 M, (versi Qodi’Iyad: 93 H – 189 H [2]) konon ia dikandung 12 bulan, bahkan riwayat lain selama 3 tahun. Dan sekitar 57 tahun lebih tua dari Imam Syafi’i. Beliau adalah seorang ulama atau Imam yang tekun mengumpulkan hadits dan menghafalnya. Ia hidup pada masa Tabi’in dan Tabi’tabi’in (orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi dan orang yang berjumpa dengan orang yang telah berjumpa dengan sahabat Nabi). Pada saat itu Ia hidup di kota kerajaan Islam di Kota Kuffah. Adapun Madinah, di kala itu termasuk kota yang sepi, hanya dihuni oleh pemangku-pemangku hadits, ahli tafsir, ulama ahli tashawuf, meraka terdiri dari Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’tabiin. Sedang kota Kuffah didiami oleh jago-jago politik, yang tidak kalah pula fungsinya dengan ulama-ulama. Oleh sebab itu dasar Mazhab Maliki diantaranya ialah amalan orang Madinah (Ulama Madinah). Imam Malik adalah seorang “Huffazh” (penghafal hadits) nomor satu pada zamannya. Tidak ada seorangpun yang bisa menandingi beliau dalam hal penghafalan hadits. Pada usia 40 tahun 100.000 hadits yang sudah dihafal diluar kepala itu, lalu diteliti pe-rawi-nya dan beliau cocokkan dengan ayat-ayat suci Al Qur’an tentang arti dan tujuannya. Pada akhirnya hanya 5000 hadits yang oleh beliau dianggap shahih. Dan kemudian beliau kumpulkan menjadi satu dalam kitab yang diberi nama “Almuwaththa” (yang disepakati). Sesuai dengan namanya “Almuwaththa” yang disepakati, karena kitab tersebut telah dimufakati oleh 70 ulama fiqih di Madinah. Imam Safi’i berkomentar: “Kitab yang paling shahih sesudah Al Qur’an, ialah “Almuwaththa.[3]
Maliki ialah mazhab fiqh yang tertua dalam Islam sunni. Mazhab Maliki diamalkan di Utara Afrika dan sebahagian Afrika Barat. Mahzab ini mempunyai bilangan pengikut lebih kurang 25% daripada muslim.
           Mazhab ini berbeda daripada tiga mazhab yang lain kerana terdapat tambahan kepada sumbernya. Selain menggunakan Al Qur’an, hadis, ijma' dan qiyas, Imam Maliki juga menggunakan amalan orang Islam Madinah pada zamannya itu sebagai sumber tambahan. Mengikuti arahan Imam Malik, merupakan juga amalan orang Madinah dilihat sebagai sunnah yang hidup seakan memandang Nabi Muhammad berhijrah, tinggal dan wafat di Madinah, dimana kebanyakan sahabat Nabi tinggal di Madinah. Kesannya, hadits yang dikaji oleh mazhab ini agak berbeda daripada mazhab yang lain.
Dasar-dasar pokok dari Mazhab Maliki yaitu berpegang pada:
1)   Al Qur’an;
2)   Sunnah Rasul SAW yang dipandang sah;
3) Ijma’ Ahl Madinah (kadang menolak hadits yang berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah);
4)  Qias (kias / analogi / membandingkan);
5)  Istislah. (istilah fikih, yaitu pendapat bahwa sesuatu
      Adalah salih karena berfaedah, bijak untuk      
      kepentingan dan keperluan umum)
Mazhab ini banyak penganutnya di Tunisia, Tripoli, Maroko, Aljazair, Mesir Atas dan beberapa daerah Afrika.[4]
 
2.   Mazhab Syafi’i
              Imam Syafi’i (Abu Abdullah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i 150 – 204 H) dilahirkan di Gazza, sebuah kampung diAsqolan, bagian selatan Palestina, pada tahun 150 H, keturunan suku Quraisj. Walaupun beliau dilahirkan di Ghazza (Palestina), tetapi tumbuh dewasa kampung halamannya di Mekkah.  Ayah-Ibunya datang kesana untuk suatu keperluan dan tidak lama beliau lahir disitu. Beliau menjadi anak yatim, sebab sejak kecil sebelum mereka kembali ke Mekkah ayahnya telah wafat di Ghazza.  Nama asli dari Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris dengan bergelar Abu Abdillah. Dalam urutan nasab, beliau mempunyai hubungan erat dengan nenek moyang Nabi Muhammad SAW. Nenek moyang beliau jika dijabarkan maka sebagai berikut: Muhammad bin Idris, bin Abbas, bin Utsman, bin Syafi’i bin Saib, bin Abi Yazid, bin Hasyim, bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, bin Qushal. Dari pihak ibu: Muhammad bin Fatimah, binti Abdullah, bin Hasan, bin Husen, bin Ali, bin Abi Thalib r.a. Gelar sebagai Imam Syafi’i diambil dari nama kakek beliau yang ke empat, yaitu Syafi’i bin Saib. Catatan penting lainnya adalah pada umur 2 tahun kembali ke Mekkah Almukarramah bersama ibunya. Ketika masih kecil belajar membaca Al Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthin. Pada usia 9 tahun beliau hafal Al Qur’an 30 juz diluar kepala. Ia pandai tatabahasa, syair dan ilmu bahasa. Ia menghafalkan kitab al-Muwaththa’ dalam satu malam. Dalam usia 15 tahun diberi tugas oleh gurunya Muslim bin Khalid Azzanjiy mengajar di Masjidil Haram, memberikan fatwa, sehingga mengagumkan orang-orang yang naik Hajji pada masa itu. Pada tahun 170 H, beliau pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Maliki  dengan membawa sepucuk surat dari gurunya Muslim bin Khalid yang ditujukan kepada Imam Malik bin Anas. Dalam perjalanan yang memakan waktu 8 hari 8 malam itu, Imam Syafi’i membaca Al Qur’an 16 kali khatam. Pengetahuannya tentang Al Qur’an tak terkalahkan di zamannya,  secara istimewa dicurahkan tenaganya untuk mempelajari sunnah Nabi. Sebagai ulama besar dimana hasil ijtihadnya Imam Syafi’i dikenal dengan sebutan “Mazan Imam Syafi’i”. Beliau juga selama setahun tidak pernah pisah dengan Imam Malik. Beliau disamping menjadi murid juga diangkat sebagai pembantu Imam Malik[5] dan mengenal dengan baik ajaran Imam Hanafi dan Imam Malik. Ia mengembara ke Yaman, Baghdad dan menetap di Mesir, dan wafat pada hari kamis malam jum’at tanggal 29 Rajab 204 H / 820 M, dan dimakamkan di Zahro. Kitab-kitab Imam Syafi’i antara lain: a) Ar Rizalah (kitab ushul fiqih pertama), b) Al Umm merupakan kitab besar ilmu fiqih, c) Ikhtifatul Hadits, berisikan tentang perselisihan hadits-hadist Nabi SAW, dan d) Al Musnad, berisikan sandaran (sanad) Imam Syafi’i dalam meriwayatkan hadits-hadits. Ajaran Syafi’i terutama berdasarkan Sunnah seperti ajaran Imam Malik, tetapi data-data yang digunakan jauh lebih banyak dan berasal dari berbagai tempat. Dasar-dasar mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab Usul al-Fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh dalam merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang).
Dasar-dasar atau asas-asas pokok mazhab Syafi’i berpegang pada:
1)    Al Qur’an;
2)    Tafsir lahiriahnya Al Qur’an selama tak ada dalil yang
        menegaskan bahwa yang dimaksud bukan lahiriahnya; Imam Syafi’i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
3)  Sunnah Nabi SAW; Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Qur’an. Imam Syafi’i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
4)   Ijma’ ,hukum yang tak ada dalam Al Qur’an dan Hadits, keputusan diambil alim-ulama dan atas kata sepakat (tidak diketahui ada perselisihan tentang sesuatu); Ijma’ para Sahabat Nabi, yang tak diketahui pula ada perselisihan tentang hal itu. Ijma' yang diterima Imam Syafi’i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
5)   Qias (ditolak dasar istihsan dan dasar ihtislah). Kias yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi’i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.
6)  Istidlal, adalah suatu istilah fikih, yakni mencari atau menegakkan dalil daripada penetapan akan dan kesimpulan-kesimpulannya atau dari seseorang yang mengetahuinya, yang dipandang sebagai ushul fikh.
7)   Istishab (suatu istilah fikih), yaitu mencari hubungan, sambungan, berusaha menghubungkan sesuatu dengan keadaan sebelumnya. Berarti membawa serta sesuatu yang telah ada di masa lalu ke masa sekarang. Istishab merupakan salah satu pegangan dalam menetapkan hukum yang tidak mempunyai dalil yang tegas dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma maupun Qiyas. Dengan perinsip istishab manusia dapat memberlakukan suatu dalil hukum yang berlaku pada masa lampau, tanpa adanya keterangan bahwa hukum itu berlaku seterusnya. Misalnya, memberlakukan ketentuan bahwa asal hukum segala sesuatu adalah boleh, kecuali bila ada larangan yang jelas, bagi hal-hal baru yang illatnya tidak ditemukan. Salah satu dasar pokok mazhab Syafi’i. Sebagian ulama terutama dari kelompok Hanafiah tidak menerima istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum).
        Penduduk terbanyak masuk dalam mazhab ini adalah Indonesia, Mesir Bawah, Arabia Barat (Saudi Arabia), Syria, Semenanjung Malaya (Malaysia-Singapura), Pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, Bahrain, Indonesia dan beberapa negara di Asia Tengah.[6]
Imam Syafi’i, begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini, terasa begitu lekat di dalam hati, setelah nama-nama seperti Khulafaur Rasyidin. Namun orang-orang mengenal Imam Syafi’i hanya dalam kapasitasnya sebagai ahli fiqih. Padahal sebenarnya beliau juga adalah tokoh dari kalangan ummat Islam dengan multi keahlian. Ketika memasuki Baghdad, beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits). Dan Imam Adz-Dzahabi menjuluki beliau dengan sebutan Nashirus Sunnah (pembela sunnah) dan salah seorang Mujaddid (pembaharu) pada abad kedua hijriyah. Muhammad bin Ali bin Shabbah Al-Baldani berkata: “Inilah wasiat Imam Syafi’i yang diberikan kepada para sahabatnya, ‘Hendaklah Anda bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Satu, yang tiada sekutu bagiNya. Dan sesungguhnya Muhammad bin Abdillah adalah hamba dan RasulNya. Kami tidak membedakan para rasul antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, Tuhan semesta alam yang tiada bersekutu dengan sesuatu pun. Untuk itulah aku diperintah, dan saya termasuk golongan orang yang menyerahkan diri kepadaNya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala membangkitkan orang dari kubur dan sesungguhnya Surga itu haq, Neraka itu haq, adzab Neraka itu haq, hisab itu haq dan timbangan amal serta jembatan itu haq dan benar adanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas hambaNya sesuai dengan amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan mati, dan dibangkitkan lagi Insya-Allah. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan makhluk ciptaanNya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin dengan mata telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu penghalang, dan mereka mendengar firmanNya, sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy. Sesungguhnya takdir, baik buruknya adalah berasal dari Allah Yang Maha Perkasa dan Agung. Tidak terjadi sesuatu kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dan Dia tetapkan dalam qadha’ qadarNya. Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah Baginda Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu’anhum. Aku mencintai dan setia kepada mereka, dan memohonkan ampun bagi mereka, bagi pengikut perang Jamal dan Shiffin, baik yang membunuh maupun yang terbunuh, dan bagi segenap Nabi. Kami setia kepada pemimpin negara Islam (yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah) selama mereka mendirikan shalat. Tidak boleh membangkang serta memberontak mereka dengan senjata. Kekhilafahan (kepemimpinan) berada di tangan orang Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun diharamkan. Dan nikah mut’ah adalah haram. Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Tinggalkanlah bid’ah dan hawa nafsu. Bertaqwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sejauh yang engkau mampu. Ikutilah shalat Jum’at, jama’ah dan sunnah (Rasullullah Shallallahu’alaihi wasallam). Berimanlah dan pelajarilah agama ini. Siapa yang mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka bimbinglah aku membaca “Laailahaillallah wahdahu lasyarikalahu waanna Muhammadan ‘abduhu warasuluh”.
Di antaranya yang diriwayatkan oleh Abu Tsaur dan Abu Syu’aib tentang wasiat Imam Syafi’i adalah: “Aku tidak mengkafirkan seseorang dari ahli tauhid dengan sebuah dosa, sekalipun mengerjakan dosa besar, aku serahkan mereka kepada Allah Azza Wajalla dan kepada takdir serta iradah-Nya, baik atau buruknya, dan keduanya adalah makhluk, diciptakan atas para hamba dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang dikehendaki menjadi kafir, kafirlah dia, dan siapa yang dikehendakiNya menjadi mukmin, mukminlah dia. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala  tidak ridha dengan keburukan dan kejahatan dan tidak memerintahkan atau menyukainya. Dia memerintahkan ketaatan, mencintai dan meridhainya. Orang yang baik dari ummat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam masuk Surga bukan karena kebaikannya (tetapi karena rahmatNya). Dan orang jahat masuk Neraka bukan karena kejahatannya semata. Dia menciptakan makhluk berdasarkan keinginan dan kehendakNya, maka segala sesuatu dimudahkan bagi orang yang diperuntukkannya, sebagaimana yang terdapat dalam hadits. (Riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya). Aku mengakui hak pendahulu Islam yang sholeh yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyertai NabiNya, mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari apa yang terjadi di antara mereka, pertentangan ataupun peperangan baik besar maupun kecil. Aku mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Utsman kemudian Ali radhiallahu ‘anhum. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin. Aku ikat hati dan lisanku, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan, bukan makhluk yang diciptakan. Sedangkan mempermasalahkan lafazh (ucapan seseorang yang melafazhkan Al-Qur’an apakah makhluk atau bukan) adalah bid’ah, begitu pula sikap tawaqquf (diam, tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu bukan makhluk, juga tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu makhluk”) adalah bid’ah. Iman adalah ucapan dan amalan yang mengalami pasang surut.[7]
Kesimpulan wasiat di atas yaitu bahwa aqidah Imam Syafi’i adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sumber aqidah Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan: sebuah ucapan seperti apapun tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar) Kitabullah atau Sunnah RasulNya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya)[8], Waallu a’lam. Manhaj Imam Syafi’i dalam aqidah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya, dan menolak apa yang ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Karena itu beliau menetapkan sifat istiwa’ (Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas), ru’yatul mukminin lirrabbihim (orang mukmin melihat Tuhannya) dan lain sebagainya. Dalam hal sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Imam Syafi’i mengimani makna zhahirnya lafazh tanpa takwil (meniadakan makna tersebut) apalagi ta’thil (membelokkan maknanya). Beliau berkata: “Hadits itu berdasarkan zhahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka makna yang lebih mirip dengan zhahirnya itu yang lebih utama.” [9] Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang harus diimani, maka beliau menjawab, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitabNya dan dijelaskan oleh NabiNya kepada ummatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah (keterangan) sampai kepadanya karena Al-Qur’an turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu. Maka barangsiapa yang menolaknya setelah tegaknya hujjah, ia adalah kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, ia adalah ma’dzur (diampuni) karena kebodohannya, sebab hal (nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan pemikiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini” (dua tangan), dengan firmanNya, yang artinya: “Tetapi kedua tangan Allah terbuka” (QS: Al-Maidah: 64). Dia memiliki wajah, dengan firmanNya, yang artinya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajahNya” (QS: Al-Qashash: 88)”.[10]
Kata-kata “As-Sunnah” dalam ucapan dan wasiat Imam Syafi’i dimaksudkan untuk tiga arti. Pertama, adalah apa saja yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah, berarti lawan dari bid’ah. Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid (lawan dari kalam atau ra’yu). Berarti ilmu tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu pula sebaliknya. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang mendalami ilmu kalam, maka seakan-akan ia telah menyelam ke dalam samudera ketika ombaknya sedang menggunung”.[11]
Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi’i dengan sebutan Ahlul Hadits. Karena itu beliau juga berwasiat: “Ikutilah Ahlul Hadits, karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya.”[12] Dan Ahli Hadits di setiap zaman adalah bagaikan sahabat Nabi.” [13]
Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh Imam Syafi’i untuk diikuti adalah Imam Ahmad bin Hambal, murid Imam Syafi’i sendiri yang menurut Imam Nawawi: “Imam Ahmad adalah imamnya Ashhabul Hadits, imam Ahli Hadits”.[14]
Pemikiran fiqih mazhab Syafi’i ini diawali oleh Imam Syafi’i, yang hidup pada zaman pertentangan antara aliran ahli hadits (cenderung berpegang pada teks hadits) dan ahl al-ra'y (cenderung berpegang pada akal fikiran atau ijtihad). Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh ahli hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh ahl al-ra'y yang juga murid Imam Abu Hanifah.
Imam Syafii kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi’i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun demikian mazhab Syafii menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fiqih, Usul al-Fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.
Imam Syafi’i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama ia tinggal di sana, ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim (pendapat yang lama). Ketika kemudian Imam Syafi’i pindah ke Mesir kerena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil mempengaruhi kekhalifahan, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda, atau yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid (pendapat yang baru). Imam Syafi’i berpendapat bahwa qaul jadid tidak berarti menghapus qaul qadim. Jika terdapat kondisi yang cocok baik dengan qaul qadim maupun dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian, kedua qaul tersebut sampai sekarang masih tetap dianggap berlaku oleh para pemegang mazhab Syafi’i.
Penyebar-luasan pemikiran mazhab Syafi’i berbeda dengan mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip dasar mazhab Syafi’i terutama disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama Imam Syafi’i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan mazhab Syafi’i pada awalnya adalah: Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878), dan Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884).
Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits terkemuka dan pendiri firqah mazhab Hanbali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi’i. Selain itu, masih banyak ulama-ulama yang kemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan mazhab Syafi’i, antara lain:Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa'i, Imam Baihaqi, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah, Imam Tabari, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Abu Daud, Imam Nawawi, Imam As-Suyuti, Imam Ibnu Katsir, Imam Dhahabi, dan Imam Al-Hakim.
Imam Syafi’i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam (Usul al-Fiqh), tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, melainkan ilmu ini baru lahir setelah Imam Syafi’i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi’i umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif diantara mazhab-mazhab fiqih sunni lainnya, dimana berbagai ilmu keIslaman telah berkembang berkat dorongan metodologi hukum Islam dari para pendukung mazhab ini. Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh mazhab Syafi’i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Ahli Sunah Waljamaah di bidang mereka masing-masing. Saat ini, mazhab Syafi’i diperkirakan diikuti oleh 28%-35% ummat Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar dalam hal jumlah pengikut.
3.   Mazhab Hambali                                                                                             
             Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal bin Hilai, lahir di Baghdad tahun 164 H tumbuh dewasa di kota ini dan wafat pada usia 77 tahun di hari jum’at Rabi’ul Awwal tahun 241 H / 855 M. Setelah menderita sakit selama beberapa minggu. Dan di makamkan di Bab Harb di Kota Baghdad. Nama Hambali ia sandang dari nama datuknya, sejak kecil dikenal dengan nama Ahmad bin Hambal. Ia belajar ilmu fiqh kepada al-Syafi’I, dan mencurahkan dirinya terhadap sunnah yang menjadikan sebagai tokoh besar di zamannya. Kitab–kitab Imam Hambali antara lain: a) Tafsir Al Qur’an, b) An Nasikh wal Mansukh, c) Al Muqoddam wal Muakhkhor fil Qur-an, d) Al Manasikul Kabir, e) Al Illah, f) Al Musnad yang berisi 40.000 hadits (di Indonesia hanya dikenal Al Musnad terdiri 6 jilid, Al Waro’i dan Ash Sholah). Mazhab Hambali berdasarkan atas nash, yaitu Al-Qur’an dan Hadist yang shahih, fatwa sahabat, pendapat sahabat paling dekat dengan Al Qur’an dan hadits, hadits dha’if yang tidak terlalu lemah dan hadits mursal, dan yang terakhir, jika terpaksa, juga qiyas. Karena itu mazhab ini digolongkan sebagai aliran ahlu ‘l-hadits yang mendahulukan hadits walaupun dhaif daripada ra’ya. Ulama-ulama yang berjasa mengembangkan mazhab Hambali antara lain Abu ‘l-Qasim al-Karkhi (wafat tahun 881 M), Abdu ‘l-Aziz Ja’far (wafat tahun 910 M), Ibnu Qudamah (wafat tahun 1164 M), Ibnu Taymiah (wafat 20 Syawal tahun 749 H [15] / 1273 M) dan Ibnu Qayyim (wafat tahun 1296 M). Penganut mazhab ini terutama terdapat di Arab Saudi.[16] 
Mazhab Hanbali adalah satu daripada empat mazhab fiqih terkenal dalam aliran ahli sunnah wal jamaah Mazhab ini juga mendapat pengikut dari aliran Wahabi dan Salafi tetapi posisi ini tidak diakui oleh sarjana Islam. Aliran Salafi merujuk mazhab Hanbali sebagai mazhab Athari. Mazhab Hambali ini kebanyakan diamalkan oleh masyarakat Islam di Semenanjung Arab.
Dasar-dasar pokok mazhab Hambali berpegang pada:
1)        Al Qur’an;
2)        Hadits Marfu’;
3)        Fatwa-fatwa para sahabat dan fatwa-fatwa sahabat yang lebih dekat pada Qur’an dan Sunnah, diantara fatwa-fatwa yang berlawanan;
4)        Hadits Mursal dan hadits Da’if, ialah hadits yang derajatnya kurang daripada sahih;
5)        Qias (kias / analogi / membandingkan).
Mazhab ini banyak dianut penduduk Arabia Tengah, di Saudi Arabia (terutama kaum Wahabi dan tokoh lainnya adalah Ibnu Taymiiah[17] yang kemudian dijadikan sumber doktrin dalam memberantas tradisi pengagungan (ziarah) kubur para Wali dan orang muslim), juga dipedalaman Oman dan beberapa tempat disepanjang Teluk Parsi dan beberapa kota Asia Tengah.[18] Kini mulai berkembang di Malaysia dan Asia tenggara.
4.    Mazhab Hanafi (699-767)                                                                                
              Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada Ahmad Ibn Hambal: Abu Abdillah. Imam Abu Hanifah Nu’man ibn Thabit al-Taymi (80-150 H). Ia keturunan Parsi, dilahirkan di Basra tahun 699 M dan berusia 70 tahun dan wafat pada bulan Rajab tahun 150 H, di Kuffah (Bagdad).[19] Menurut versi Qodi’Iyad Ia wafat 350 H[20]. Makamnya ada di Al Khoizaron, Baghdad. Nama sebenarnya Nu’man putra dari Tsabit bin Zautho bin Mah, keturunan bangsa Ajam. Kata ‘hanif’ dalam bahasa Arab berarti cenderung kepada agama yang benar. Riwayat yang lain mengatakan beliau erat dengan tinta guna mencatat ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Ayahnya keturunan Persia yang berasal dari Afganistan. Abu Hanifah pernah berguru kepada Atha bin Abi Rabah, Imam Muhammad bin Abu Sulayman, Imam Nafi’ Mawla Ibnu Umar dan Imam Muhammad al-Baqir. Hanifah termasuk tabi’in sebab ia masih sempat berjumpa dengan beberapa sahabat Nabi Muhammad misalnya Abi Awfa, Watsilah bin al-Aqsa, Ma’qil bin Yasar, Abullah bin Anis dan Abu Tufayl. Selain sebagai ulama dan Imam Mazhab, Hanifah juga wiraswastawan yang berhasil namun hidupnya sangat wara’ dan zuhud serta pemurah. Hubungannya dengan penguasa tidak begitu baik, karena selalu menolak tawaran khalifah untuk menjadi Hakim Agung, bahkan Ia sempat dipenjara dan dihukum dera setiap hari selama 15 hari. Karena tidak berhasil membujuk Hanifah memangku jabatan Hakim Agung, Khalifah al-Mansyur murka dan memanggilnya menghadap, di Istana Abu Hanifah disugihi racun lalu dikembalikan ke penjara dan meninggal di penjara.[21] Beberapa karya tulisnya yang memuat pendapatnya yang disusun para muridnya antara lain: al-Madsuth, al- jami’u ‘l-kabir, Al-Sayru ‘l-Shaghir, al-‘l-Kabir, dan al-Ziyadah. Abu Hanifah dijuluki sebagai Bapak Ilmu Fiqih.[22] Mazhab Hanafi dikembangkan berdasarkan Al Qur’an, Sunnah Rasul, fatwa para sahabat, qiyas, istihsan, adat dan ‘uruf masyarakat. Sikap Abu Hanifah terhadap hadits sangat hati-hati dan selektif. Ia lebih banyak menggunakan qiyas dan juga istihsan. Hal ini ada hubungannya dengan daerah pertumbuhan mazhab ini yang jauh dari Madinah dan Mekah, tempat tinggal kebanyakan sahabat Nabi. Karena itu mazhab Hanafi seringkali disebut sebagai aliran ahlu ‘l-rayu yang lebih mengutamakan rasio. Perkembangan mazhab Hanafi cukup luas karena peranan murid-murid Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf (wafat tahun 731 M) yang pernah menjadi Hakim agung di Baghdad, Muhammad bin Hasan  (wafat tahun 738 M) dan Zufar (wafat tahun 707 M). Ada ulama penganud mazhab ini yang membagi fiqih Abu Hanifah menjadi 3 tingkatan: 1) tingkatan pertama (masa-ilul ushul) kitabnya berjudul Dhohiru Riwayah, berisi kupasan dan ketetapan masalah agama oleh Imam Hanafi bercampur buah pikiran para sahabat Imam Hanafi yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan lainnya; 2) tingkatan kedua (masa-ilun Nawadir) tentang masalah-masalah agama, diriwayatkan oleh Imam Hanafi dan para sahabatnya, kitabnya Haruniyyar, Jurjaniyyat dan Kaisaniyyat (Muhammad bin Hasan), serta Al Mujarrod (Hasan bin Iyad); 3) tingkatan ketiga (Al Fatawa wal Waqi’at) berisikan masalah-masalah agama dari para ulama mujtahid mazhab Hanafi yang datang kemudian, karena keterangannya tidak mereka dapat pada pendahulunya, seperti kitab Al Fatawa wal Waqi’at pertama yaitu An Nawasil (Abdul Laits As Samarqondy, wafat 375 H).
Mazhab Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh dalam Islam sunni. Suatu mazhab yang dikenal sebagai mazhab paling terbuka kepada idea modern. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam sunni Mesir, Turki, sub-benua India dan sebahagian Afrika Barat, walaupun pelajar Islam seluruh dunia belajar dan melihat pendapatnya mengenai amalan Islam. Mazhab Hanafi merupakan mazhab yang dianut dengan sekitar 30% pengikut. Kehadiran mazhab ini tidak boleh dilihat sebagai perbedaan mutlak seperti dalam Kristian (Prostestan dan Katolik) dan beberapa agama lain. Sebaliknya ini merupakan perbedaan yang sehat melalui pendapat yang logis dan idea dalam memahami Islam. Perkara pokok seperti akidah atau tauhid masih sama dan tidak berubah.
Dasar – dasar pokok dari mazhab Hanafi berpegang pada :
1)   Al Qur’an;
      2)  Sunnah Rasul SAW beserta peninggalan-peninggalan
            sahih yang telah masyhur  di antara para ulama;
3)   Fatwa-fatwa para sahabat;
4)   Qias;
5)   Istihsan; Secara bahasa istihsan berarti menganggap
baik sesuatu (hasan), adalah salah satu cara  menetapkan hukum di kalangan ahli ushul fikih. Melalui metode istihsan, seorang mujtahid meninggalkan hukum yang didasarkan atas qias jali (analogi yang jelas persamaan illatnya) ke hubungan baru yang berdasarkan atas qias khafi (persamaan illatnya tersamar) atau dari hukum yang didasarkan pada dalil kulli (alasan yang bersifat umum) ke hukum yang didasarkan atas dalil juz’i (alasan yang bersifat khusus). Salah satu contoh mengqiaskan wakaf kepada sewa-menyewa dan tidak kepada jual-beli, karena lebih mengutamakan segi kemanfaatannya daripada segi perpindahan hak milik. Perpindahan hukum itu lebih tepat. Metode istihsan ini lebih banyak digunakan dikalangan ulama Hanafiyah sebagai salah satu dasar pokok mazhab Hanafi dan ditolak keras dikalangan ulama Syafi’iyah.
6)   Adat beserta ‘uruf umat. 
              Penganut mazhab Hanafi terdapat banyak di anak daerah India, Turki, Afganistan, Kawasan Balkan, China dan Rusia.[23] Disamping Turki dan India, juga Turkestan, Propinsi-propinsi Buchara dan Samarkand.[24] Juga di Asia Tenggara mendapat beberapa pengikut.


[1] Prof.Dr. KH. Said Agil Siraj, Republika: 26-03-2007
[2]  Qodi’Iyad Ibn Musa Al Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah Muhammad SAW Keistimewaan Personal Keteladanan Bersalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 812
[3]   Abdul Ghoni A, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, CV. Bintang Pelajar, 1986, hal .110-111
[4]   Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal. 657-658
[5]   Abdul Ghoni A, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, CV. Bintang Pelajar, 1986, hal.109-111
[6]  Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal.1023
[7] Al-Amru bil Ittiba’, As-Suyuthi, hal 152-154, tahqiq Mustofa Asyur; Ijtima’ul   Juyusyil Islamiyah, Ibnul Qayyim hal 165.
[8]  Manaqibusy Syafi’i, hal  1 -470 & 475.
[9] Al-Mizanul Kubra, hal 1 - 60; Ijtima’ul Juyusy, hal  95.
[10] Manaqib Asy-Syafi’i, Baihaqi hal 1-412, 413; Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, Al-    Lalikai, hal 2 - 702; Siyar A’lam An-Nubala’, hal 10 – 79, 80; Ijtima’ Al-Juyusy Al-    Islamiyah, Ibnul Qayyim, hal 94.
[11] Al-Mizanul Kubra, Asy-Sya’rani, hal 1-60,  As-Sunnah dimaksudkan sebagai sinonim    dari hadits yaitu apa yang datang dari Rasulullah selain Al-Qur’an.
[12] Al-Adab Asy-Syar’iyah, Ibnu Muflih, hal 1-231.
[13] Al-Mizanul Kubra, hal 1- 60.
[14] Al-Majmu’, Syarhul Muhazzab; Siar A’lam, hal 5, 6-10; Tadzkiratul Huffazh, hal  1 - 361;
[15]  Muhammad Abu Zahrah, IbnuTaimiyah, Hayatuhu wa ‘Ashuruhu,  Dar al-Fikr –   Al-’Araby,       1946
[16]  Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6,  Ibid, hal. 327
[17]  Budi Munawar, Rachman, Argumen Pengalaman Iman Neo-Sufisme Nurcholish Madjid, dalam       Tsaqafah, Vol.1, no.1, 2002, hal  56
[18]  Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal. 393 -394
[19]  Ensiklopedi Umum, Ibid, hal.. 479
[20]  Qodi’Iyad Ibn Musa Al Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah Muhammad SAW : Keistime- waan Personal Keteladanan Bersalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 786
[21]  Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, Ibid, hal. 328
[22]  Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, Ibid, hal  328
[23]  Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, PT.Delta Pamungkas, Jakarta, 2004,hal. 326-327
[24]  Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal. 395

 http://goesmul.blogspot.co.id/2012/03/mengenal-perbedaan-mazhab.html




Perbedaan Dan Persamaan 4 Madzab dalam Islam



Daftar Isi

1.       Perbedaan Pendapat Tentang Hal-hal yang Membatalkan Wudhu

A.    Keluar Sesuatu Dari Dua Jalan
            Keluar sesuatu dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti buang air kecil, buang air besar, keluar madzi, (air kuning encer yang biasanya keluar dari qubul ketika seseorang merasakan nikmat.
            Pendapat dari empat mazhab yaitu
*      Haanafiyah berpendapat apapun yang keluar dari qubul dan dubur, membatalkan wudhu, baik yang biasa maupun yang tidak biasa.
*      Malikiyah berpendapat bahwa mani yang biasa keluar tampa rasa nikmat tidak diwajibkan mandi, dan hanya membatalkan wudhu. Adapun batu kecil, ulat, cacing darah dan nanah yang keluar dari qubul dan dubur tidak membatalkan wudhu dengan ketentuan.
*      Syafi’i berpendapat keluar mani tidak sampai membatalkan wudhu, apakah keluarnya rasa nikmat atau tidak namun, wajib mandi.
*      Hambali bependapat bahwa apabila seseorang terus menerus berhadas , seperti air kencing terus menerus menetes, tidak membatalkan wudhu, asal setiap sholat melakukan wudhu.
B.      Tidur
*      Hanafiyah berpendapat bahwa tidur tidak membatalkan wudhu, akan tetapi tidur dapat membatalkan wudhu dalam tiga hal.
-          tidur dengan berbaring miring
-          tidur telentang diatas punggungnya
-          tidur diatas salah satu pahanya
*      malikiya berpendapat tidur dapat membatalkan wudhu, apabila seseorang tidur nyenyak, baik sebentar maupun lama maupun sebentar, baik tidur dalam keadaan berbaring atau sujud atau duduk.
*      Syafi’i berpendapat tidur dapat membatalkan pendapat apabila orang yang yang tidur itu tidak duduk mantap diatas tempatnya.
*      Hanbali berpendapat bahwa wudhu seseorang dapat batal dalam keadaan bagaimanapun juga, kecuali apabila tidurnya itu sebentar menurut ukuran urf, sedanngkan orang itu dalam keadaan duduk atau berdiri.
C.    Bersentuhan Laki-laki dan perempuan
*      Hanafiyah berpendapat  bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu.
*      Malikiyah berpendapat bahwa seseorang menyentuh orang lain dengan tangannya atau dengan anggota badan lainnya, maka wudhunya batal dengan beberapa syarat.
-          Sudah baligh
-          Merasakan kenikmatan/rangsangan sesudah terjadi sentuhan sengaja atau tidak
*      syafi’i berpendapat kulit lawan jenis yang bukan mahram membatalkan wudhu secara mutlak.

2.       Perbedaan Pendapat Tentang Kewajiban Membaca Al-Fatihah Dalam Sholat

Membaca Al-fatihah merupakan rukun disetiap rakaat dalah sholat, telah shahih dari Rasulullah bahwa beliau membacanya disetiap rakaat dan ketika beliau mengajari orang yang tidak pas dalam sholat maka beliau memerintahkan untuk membaca Al-fatihah, sebagaimana sabda beliau yang artinya “Tidak sah sholat bagi orang yang tidak membaca Al-fatihah” (Muttafuq Alaihi).
Para imam mazhab berpendapat bahwa membaca surat fatihah adalah wajib bagi imam dan bagi orang yang sholat sendirian (munfarid) pada duaa rakaat subuh dan pada rakaat pertama dan kedua sholat yang lain.
Berikut ini adalah pendapat dari 4 imam mazhab yakni sebagai berikut:
A.    Imam Hanafi
Membaca surat Al-fatihah dalam sholat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Qur’an itu boleh. Berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Muzammil ayat 26. Artinya: “...Bacalah apa yang (mudah bagimu) dari Al-Qur’an...(Q.S Al-Muzzammil: 20).
Membaca Al-fatihah itu hanya diwajibkan dua rakaat pertama, sedangkan pada rakaat ketiga pada sholat magrib, dan pada dua rakaat terakhir pada sholat isya’ dan ashar maka bacalah, jika tidak, bacalah tasbih, atau diam.
Boleh meninggalkan bassmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunahkan membaca dengan keras atau pelan (sir). Orang yang sholat sendiri ialah boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca ddengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras) dan bila suka dibaca secara sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam sholat itu tidak ada qunut kecuali pada sholat witir. Sedangkan menyilangkan dngan dua tangan adalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama meletakkan telapak tangannnya yang kanan diatas belakang telapak tangan yang kiri dibawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakan dua tangannya diatas dadanya.
Jadi, menurut mazhab imam hanafi tentang membaca surat Al-fatihah adalah:Imam Hanafi: “Sesungguhnya bacaan Al-fatihah bagi makmum dibelakang imam adalah makruh dan bisa berdosa baik dalam sholat berjamaah Sirriyyah (zhuhur dan ashar)ataupun jahriyah(subuh, magrib dan isya) karena banyaknya hadits-hadist yang diriwayatkan mengenai pengalaman pelarangan membaca apapun bagi makmum yang berjamaah”.
B.     Imam Syafi’i
Mazhab As-syafi’iyah mewajibkan makmum dalam sholat jama’ah untuk membaca surat Al-fatihah sendiri meskipun dalam sholat jahriyah (yang dikeraskan bacaan imamnya). Tidak cukup hanya mendengaran bacaan imam saja. Hal ini didasarkan pada. Artinya: “Tidak ada yang namanya sholat tampa adanya bacaan surat al-kita (Al-fatihah)”. (HR.Bukhari, Azam/714; Tirmizi, 247).
Kemudian juga didasarkan pada hadits dia berkata: Rasulullah saw bersabda: dari Abu hurairah. Artinya: “Barang siap yang tidak membaca Al-fatihah maka sholatnya kurang, tidak sempurna. (HR. Muslim no. 359).
Karena itu mereka menyebutkan bahwa ketika imam membaca surat Al-fatihah, makmum baru mendengarkannya, namun begitu selesai mengucapkan, masing-masing makmum membaca sendiri-sendiri surat Al-fatihah secara sirr (tidak terdengar). Hal ini didasarkan dengan surat Al-araaf: 204).
Artinya; “dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (Q.S Al-araf: 204).
Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-fatihah gugur dalam kasus seseorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam sedang ruku’. Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku’ bersama imam dan sudah terhitung mendapat satu rakaat.
Membaca Al-fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada sholat fardhu maupun sholat sunnah.
C.    Imam Maliki
Imam Malik berpendapat, bahwa makmum wajib membaca fatihah pada sholat sir dan tidak wajib pada shalat jahar. Artinya dan apabila dibacakan al quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (q.s al-araf: 204).
D.    Imam Hambali
Wajib membaca Al-fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunahkan membaca surat Al-Qur’an pada dua rakaat yang pertama. Dan pada sholat subuh, serta dua rakaat pertama pada sholat magrib dan isya’ disunahkan membacanya ddengan nayring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras.Qunut hanya pada sholat witir bukan pada sholat-sholat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunatkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan dibawah pusar. (Mughniyah: 2001).

3.       Perbedaan Pendapat Tentang Penentuan Awal Puasa

Puasa Ramadhan adalah puasa yang telah ditentukan jumlah bilangan hari dan waktu pelaksanaannya, yakni satu bulan penuh. Ada yang berjumlah 30 hari ada pula yang berjumlah 29 hari. Perintah puasa pertama kali adalah pada tahun ke-2 Hijriah. untuk menentukan awal dan akhir bulan ramadhan dapat dimulai dengan salah satu sebab sebagai berikut: Dengan cara rukyatul hilal, yaitu dengan melihat bulan sabit tanggal satu bulan qamariyah dengan mata telanjang.
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “maka diantara kamu sekalian yang menyaksikan akan adanya awal ramadhan haruslah ia puasa”(QS. AL-Baqarah:185)
Oleh para ulama masih dipersoalkan tentang Hilal (melihat bulan):
A.    Menurut Imam Hanafi
*      Jika seandainya langit cerah, wajib yang melihat itu semuanya/orang banyak (melihat bulan). Dan orang tersebut mengatakan ashadu dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
*      Dan kalau seandainya cuaca tidak cerah (mendung/berkabut), maka cukup satu orang yang adil, berakal, baliqh (kesaksian). Dan tidak perlu mengucap ashadu.
B.     Menurut Imam Maliki
*      Yang melihat hilal itu orang banyak, maka wajib puasa, sekalipun orang yang melihat hilal itu tidak semuanya adil.
*      Bahwa yang melihat hilal itu 2 orang yang adil.
*      Kalau yang melihat hilal hanya 1 orang (laki-laki), maka yang wajib puasa hanya dia sendiri.
C.    Menurut Imam Syafi’i
*      Melihat oleh orang yang adil, walaupun hanya 1 orang (baik laki-laki / perempuan) dan wajib mengucap ashadu.
*      Kalau yang melihat hilal itu orang yang tidak adil (baik laki-laki / perempuan) maka puasa wajib hanya bagi dirinya.
D.    Menurut Imam Hambali
Diterima,apabila hilal itu dilihat (perkadaan) 1 orang mukallaf (laki-laki/perempuan, merdeka/hamba) yang adil, baik adil secara zhahir maupun secara batin. Baik cuaca cerah /mendung dan mengucapkam ashadu.
kesimpulan hukum bahwa permulaan puasa itu harus berdasarkan atas rukyat bila cuaca cerah; dan atas dasar istikmal (menggenapkan jumlah bilangan bulan Sya'ban) bila cuaca buruk, misalnya karena mendung sehingga tidak memungkinkan dilakukan rukyat.  

4.       Perbedaan Pendapat Tentang Penentuan Niat Puasa

Sebagaimana diketahui, bahwa niat itu adalah salah satu rukun dri puasa, namun bukan saja puasa, tetapi semua ibadah harus dimulai dengan niat yang ikhlas kepada Allah.
Nabi bersabda:    
اءنماالا عما ل با لنيا ت ...... (رواه البخارى ومسلم)      
sesungguhnya segala amal itu hendaklah dengan niat…” (HR. Bukhari muslim)
Mengenai waktu niat, terdapat perbedaan pendapat:
*      Imam maliki berpendapat, disyaratkan sahnya niat, pada malam hari, dan boleh berniat pada terbit fajar.
*      Imam syafi’I dan ahmad bin hambali mengatakan, disyaratkan untuk puasa ramadhan/puasa yang lain (seperti puasa qadha, nadzar). Maka dia harus menetapkan niat puasa pada waktu malam hari.
*      Menurut hanafi, bagi orang yang berpuasa, lebih afdhal berniat pada terbit fajar jika memungkinkan, atau pada malam hari.

5.       Perbedaan Pendapat Tentang Zakat Tanaman dan Pangan

A.    Maliki dan Syafi’i
Berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang meerupakan kebutuhan pokok dan dapat disimpan seperti gandum, beras, kurma dan anggur.apabila pengairan perlu biaya 5%, sedangkan kalau tidak di airi 10%.
Landasan yang dipakai oleh imam maliki dan syafi’i adalah :
  Artinya: dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.         (Al-An’am: 141).
B.     Abu Hanifah
Berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada segala sesuatu yang ditanam baik hubab (biji-bijian) Tsimar (buah-buahan) dan sayur-sayuran. Beliau melihat umum ayat yakni pada surah Al-An’am 141 dan Al-Baqarah 267.
C.    Hambali
Berpendapat bahwa semua tanaman dan buah-buahan yang ditimbang dan yang disimpan wajib dizakatati.

6.       Perbedaan Pendapat Tentang Zakat Melalui Badan Amil

*      Imam Syafi’i
mendefinisikan Amil sebagai orang yang bekerja mengurusi Zakat, sedang dia tidak mendapat upah selain dari zakat tersebut. Mażhab ini merumuskan ‘Amil sebagai berikut: “Amil zakat yaitu orang-orang yang dipekerjakan oleh Imam (pemerintah) untuk mengurus zakat. Mereka adalah para karyawan yang bertugas mengumpulkan zakat, menulis (mendatanya) dan memberikan kepada yang berhak menerimanya”. Dimasukkannya Amil sebagai Asnaf menunjukkan bahwa Zakat dalam Islam bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah (bahkan menjadi tugas negara).
*      Imam Hanafi
memberikan pengertian yang lebih umum yaitu orang yang diangkat untuk mengambil dan mengurus zakat.
*      Imam Hanbal
yaitu pengurus zakat, yang diberi zakat sekadar upah pekerjaannya (sesuai dengan upah pekerjaanya).
*      Imam Maliki
lebih spesifik yaitu pengurus zakat, penulis, pembagi, penasihat, dsb. Syarat amil harus adil dan mengetahui segala hukum yang bersangkutan dengan zakat.

7.       Perbedaan Pendapat Tentang Gaji Atau Upah Minimum Yang Bisa Di Terima Oleh Amil

*      Mazhab Maliki dan jumhur ulama
mengatakan bahwa kadar upah atau gaji yang diberikan kepada mereka adalah disesuaikan dengan pekerjaan atau jabatan yang diemban yang kira-kira dengan gaji tersebut ia dapat hidup layak. Ukuran kelayakan itu sendiri sangat relatif, tergantung pada waktu dan tempat. hanya saja,
*      Abu Hanifah
 membatasi pemberian gaji atau upah Amil tersebut jangan sampai melebihi setengah dari dana yang terkumpul.
*      Imam Syafi’i 
membolehkan pengambilan upah sebesar 1/8 (seperdelapan) dari total dana zakat yang terkumpul. Bahkan ada juga pendapat ulama sebagai bentuk hati-hati upah amil bisa diambil 10% dari total zakat yang terkumpul. Pelaksanaan zakat melalui amil zakat dari muzakki untuk kemudian disalurkan pada mustahik,menunjukkan kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal kariatif (kedermawaan) , tetapi ia juga suatu kewajiban yang juga bersifat otoriatif (ijibari)

8.       Perbedaan Pendapat Tentang Adanya Saksi dalam Thalaq

A.    Pendapat jumhur ulama fuqaha
Menurut jumhur ulama, baik salaf maupun khalaf (tradisional dan modern) berpendapat, bahwa talak itu sah tanpa ada saksi. Karena hal itu merupakan hak orang laki-laki (suami). Tidak ada nash yang menetapkan adanya saksi dalam talak Allah SWT sendiri telah memberikan hak talak berada di tangan laki-laki (suami) dan bukan wanita (istri), sebagaimana firmannya dalam surat Al-Ahzab : 49.
B.     Pendapat imam mazhab yang empat
Mazhab yang empat tidak mengisyaratkan akan adanya saksi didalam thalaq, adapun keempat mazhab tersebut adalah mazhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi.
C.     Pendapat ulama syi’ah imamiyah
Mazhab Imamiah berpendapat bahwa harus ada saksi didalam talak, dan saksi merupakan rukun dari pada talak.Para ulama mazhab Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariah danIsmailiyyah mengatakan bahwa, talak tidak dianggap jatuh bila tidak disertai dua orang saksi laki-laki yang adil.
.

9.       Perbedaan Pendapat Tentang Wali dalam Nikah

A.    Menurut Imam Syafi’i, Hambali, Maliki
Jumhur Ulama (selain hanafiyah) berpendapat bahwa suatu perkawinan tidak sah tampa ada wali. Sebagain besar ulama fiqih berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya atau orang lain. Jika dia menikah tampa wali maka pernikahannya batal atau tidak sah. Sebagai dasar yang mereka pergunakan adalah firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah: 232. Artinya: “...Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya...(Q.S Al-Baqarah: 232).
Firman Allah diatas adalah mengenai apabila seseorang wanita ditalak oleh suaminya, maka setelah habis masa iddahnya, si wanita itu boleh menikah dengan bekas suaminya (ada ketentuannya setelah talak tiga)atau laki-laki lain. Para ulama tidak boleh mengahalngi atau melarang bila ada kesepakatan antara kedua calon mempelai, terutama bagi wanita yang masih gadis. Dalam keadaan tertentu, hakim dapat bertindak sebagai wali, karena wali harus ada dalam perkawinan.
Suatu perkawinan tidak dipandang sah, kecuali ada wali sebagaimana dinyatakan dalam hadits H.R Lima orang ahli hadist yang artinya: “Tidak sah nikah, kecuali dengan wali” (H.R Lima orang ahli hadits).
Dari hadits diatas dapat kita pahami, bahwa seorang wanita boleh mengawinkan dirinya bila telah tampa izin dari walinya, karena si wanita tidak mempunyai wewenang untuk itu. Apabila telah mendpat izin dari wali, namun oleh beberapa sebab, (tempat tinggal jauh dsb) wali itu tidak dapat menikahkan secara langsung, maka hakim (penghulu) yang menjadi walinya. Kekurangan dan kelebihan dari pendapat jumhur ulama.
*      Kelebihannya
 adanya rasa aman yang timbul sebab adanya izin dari wali, sebab perrnikahan merupakan sebuah pilihan hidup yang akan dijalani seseorang, maka wanita dengan pilihan hidupnya harus berdasarkan pengetahuan wali.
*      Kekurangannya
adanya diskriminasi terhadapperempuan dimana dia tidak boleh melakukan transaksi untuk dirinya, serta menganggap wanita pada drajat yang lebih rendah dari pada kaum pria.
B.     Menurut Imam Hanafiah
Abu hanifah, zufar, sya’bydan zury berpendapat, bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya tampa wali, asal saja calon suami-istri itu kufu (setara), dan maharnya tidak kurang dari mahar yang berlaku pada masyarakat sekitar. Apabila wanita itu menikah dengan orang yang tidak sekufu dengannya maka walinya boleh membatalkan nikah. Sebagai landasan yang dikemukakan oleh golongan hanafiyah adalah firman Allah yang berbunyi:
Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain...(Q.S Al-baqarah: 230)
*      Kelebihan
pendapat abu hanifah tentang wanita diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri mengangkat derajat yang lebih terhormat, dimana wanita pada pergeseran zaman dan keadaan mengalami perkembangan sehingga wanita berada pada posisi yang sama dengan laki-laki.
*      Kekurangan
jika nikah tidak diharuskan dengan adanya wali, maka akan banyak orang menikah seenaknya tampa izin wali yang bersangkutan.
C.    Urutan Wali Dan Syarat-Syarat Wali
Orang yang sah menjadi wali ialah:
1.        Bapak
2.        Datuk (kakek), bapak dari pabak
3.        Saudara lelaki kandung
4.        Saudara lelaki sebapak
5.        Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6.        Anak laki-laki dari dari sudara laki-laki sebapak
7.        Saudara bapak yang laki-laki (aman)
8.        Anak laki-laki dari paman
9.        Hakim

10.  Perbedaan Pendapat Tentang Zul Arham

A.    Pengertian
Zul Arham berasal dari bahasa arab “Arham” bentuk jamak “Rahim” yang berarti rahim atau kandungan. Tegasnya disebut hubungan darah secara syariat Zul Arham adalah hukum karabat yang lain dari pada Dzul Furudh dan ‘Ashabah yaitu anggota keluarga digaris ibu, baik laki-laki maupun perempuan yang ditentukan bagiannya dalam Al-Qur’an yaitu anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, anak perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak.
Menurut bahasa Dzul Arham adalah orang yang mempunyai kerabat secara mutlak, baik dia Shahih Furudh atau Ashabah atau bukan. Sedangkan dalam pengertian istilah Dzul Arham adalah segala kerabat yang bukan Shahih Furudh dan bukan pula Ashabah. Jadi, Zul Arham itu berarti orang yang mepunyai hubungan darah dengan si mati.
Dasar hukum yang menjelaskan bahwa Zul Arham berhak mewarisi yaitu dalam surat Al-Nisa’ Ayat 7 : Artinya : ” Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya...
B.     Perbedaan Pendapat Ulama Terhadap Zul Arham.
Berikut perbedaan pendapat ulama dalam memberikan pengertian tentang zul Arham ini, yaitu sebagai berikut :
*      Pendapat / Mahzab Ahl Al-Qarabah
       Pendapat ini dikembangkan oleh ahli hukum islam mazhab syafiyah seperti al-Baqawy dan al-Mutawally (pada awalnya pendapat ini didasarkan kepada ijtihad Alibin Abi Thalib). Pendapat ini intinya mengemukakan bahwa diantara para ahli waris terdapat kelompok keutamaan yanitu kelompok yang satu lebih utama dari kelompok yang lainnya, mahzab ini mengelompokkannya sebagai berikut :
                                 i.      Kelompok Banuwwah yaitu yang terdiri dari anak-anak, cucu dan seterusnya kebawah.
                               ii.      Kelompok Ubuwwah yaitu terdiri dari kakek dari ibu, nenek dari kakek dan seterusnya ke atas.
                             iii.      Kelompok Ukhuwwah yaitu terdiri dari anak-anak saudara atau kemenakan.
                             iv.      Kelompok Umumah yaitu terdiri dari paman, bibi dan anak keturunannya.
Menurut kelompok ini, selama ada kelompok yang terdekat. Maka kelompok yang lainnya tidak menerima warisan, dengan kata lain kelompok yang terdekat lebih utama dari kelompok yang lainnya.
*      Pendapat / Mahzab Ahl Al- Tanzil
Mahzab ini dikembangkan dengan Imam Maliki, Syafi’i dan Ahmad Ibn Hambali. Menurut pendapai ini untuk menentukan siapa yang lebih berhak diantara Zul Arham untuk memperoleh warisan dari sipewaris adalah dengan cara menempatkan mereka pada kedudukan ahli waris yang menghubungkan mereka kepada sipewaris, selanjutnya mereka diturunkan satu persatu.
Misalnya : cucu perempuan dari garis perempuan didudukan sebagai anak perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki didudukan sebagai sudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan didudukkan sebagai ayah, saudara perempuan ibu didudukan sebagai ibu dan seterusnya.
*      Pendapat / Mazhab Ahl al-Rahim
Tokoh penting mazhab ini adalah hasan Ibn Zirah, menurut ungkapan Fathur Rahman pendapat / mazhab ini tidak berkembang, sebab pendapat ini tidak mudah di terima. Karena prinsip mazhab ini semua Keluarga yang statusnya Zul-arham mempunyai kedudukan yang sama tanpa melihat dari kelompok mana mereka berasal, dengan istilah lain seluruh Zul-arham disamarkan kedudukannya terhadap harta warisan tersebut.
Selain yang diatas ada pula perbedaan para ulama tentang apakah mereka dapat menerima warisan atau tidak, jika tidak kepada siapa harta warisan itu diserahkan, sementara tidak ada ahli waris yang akan mewarisinyayaitu sebagaia berikut :
              i.      Imam Malik, Syafi’i, Zaid Ibn Zabit dan mayoritas ulama Amsar berpendapat bahwa ahli waris Zul-Arham tidak dapat menerima warisan.” Dari kalangan sahabat-sahabat tabi’i berpendapat yang demikian adalah ibnu Abbas, Said Ibnu al-Musayyab, Sa’ad Ibn Zubair, Sofyan al-sauri, Al-Auza’i, dan ikuti oleh Ibnu Hazm, bahwa harta peninggalan simati diserahkan kebait Al-Mal.
            ii.      Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Usman, Ali, Ibnu ‘Abbas dalam satu pendapatnya yang Mashur , Ibnu Mas’ud dan Mu’az Ibnu  Jabal  mengatakan bahwa “ ahli waris zul Arham dapat menerima warisan, apabila simati tidak mempunyai ahli waris ashabah dan al-furud.
C.    Penyelesaian dalam Pembagian Haknya
            Ahli waris yang termasuk zul Arham dikelompokkan oleh kalangan syafiyah kepada :
1.      Anak dari anak perempuan (cucu melalui anak perempuan).
2.      Anak dari saudara perempuan, baik kandung, seayah maupun seibu.
3.      Anak perempuan saudara laki-laki.
4.      Anak perempuan paman.
5.      Paman seibu.
6.      Anak paman seibu.
7.      Saudara laki-laki ibu.
8.      Saudara perempuan ibu.
9.      Saudara perempuan ayah.
10.  Anak saudara seibu.
11.  Bapak dari ibu.
Cara penyelesaian dalam pembagian harta warisan dikalangan ahli waris Zul-Arham ada 2 cara yang dikemukakan oleh ualama yaitu :
1.      Secara Penggantian
Ahli waris Zul Arham menerima hak kewarisan menurut yang diterima oleh ahli waris terdekat yang menghubungkannya kepada pewaris. Contoh ahli waris terdiri dari : ayah dari ibu, anak dari perempuan. Maka ayah dari ibu mendapat 1/6 menggantikan ibu dan anak dari anak perempuan mendapat ½ menggantikan anak perempuan.
2.      Secara Kedekatan
          Ahli waris Zul Arham menerima warisan berdasarkan kedekatannya kepada pewaris, artinya membagi harta warisan kepada ahli waris sebagaimana yang berlaku pada kewarisan ashabah. Alasannya yang dikemukakan oleh kelompok yang menganut cara ini adalah bahwa ahli waris Zul Arham ini pada akikatnya adalah ashabah. Ashabah yang hakiki di tempati oleh pihak laki-laki, sedangkan ashabah dalam bentuk ini adalah perempuan atau laki-laki melalui perempuan misalnya : ahli waris terdiri dari ayah dari ibu dan anak saudara ibu, maka harta warisan akan di warisi oleh kakek, karena kakek lebih dekat hubungannya dibandingkan dengan anak saudara ibu.
Hadis Nabi yang Artinya : Dari Amir Bian Muslim dari Thawas dari ‘Aisyah berkata : Rasul SAW bersabda : saudara laki-laki Ibu menjadi ahli waris bagi yang tidak ada ahli warisnya. (HR. At - Tarmizi)

 http://lelysholehah.blogspot.co.id/2015/04/perbedaan-dan-persamaan-4-madzab-dalam.html


Persamaan dan Perbedaan Sholat 4 Mazhab


Shalat merupakan rukun kedua dari lima rukun Islam. Umat Islam sepakat bahwa menjalankan ibadah shalat 5 waktu (subuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isya’) adalah kewajiban. Tapi ternyata banyak perbedaan dalam menjalankan ibadah shalat, meskipun hukumnya sama-sama wajib.
Dari dulu aku sering bingung (dan dilanjutkan bengong) atas perbedaan-perbedaan shalat umat Islam. Tapi kebingunganku sekarang jadi sedikit tercerahkan. Makashii banget buat pak nurul yakin atas tugasnya untuk membandingan pendapat 4 mazhab tentang shalat wajib.
Ini ringkasan tugas yang aku kerjain bareng temen-temen sekelompok :

Isi :
Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban shalat wajib lima waktu atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena shalat termasuk salah satu rukun Islam. (Mughniyah; 2001)
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali : Harus dibunuh, Hanafi : ia aharus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia shalat. (Mughniyah; 2001)
Rukun-rukun dan fardhu-fardhu shalat : (Mughniyah; 2001)
  1. Niat : semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. (Mughniyah; 2001)
Ibnu Qayyim berpendapat  dalam bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi Muhammad saw bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar” dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali. (Mughniyah; 2001)
  1. Takbiratul Ihram : shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah saw : (Mughniyah; 2001)
Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain  perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.”
Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). (Mughniyah; 2001)
Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab. (Mughniyah; 2001)
Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. (Mughniyah; 2001)
  1. Berdiri : semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. (Mughniyah; 2001)
Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya. (Mughniyah; 2001)
Maliki : bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan  lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. (Mughniyah; 2001)
  1. Bacaan : ulama mazhab berbeda pendapat.
Hanafi : membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 : (Mughniyah; 2001)
Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus shalah).
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan aalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pad shlat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)
Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus pada setipa rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah; 2001)
Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar. (Mughniyah; 2001)
Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001)
kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
  1. Ruku’ : semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah. Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan : (Mughniyah; 2001)
Subhaana rabbiyal ’adziim
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung
Hambali : membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. (Mughniyah; 2001)Kalimatnya menurut Hambali :
Subhaana rabbiyal ’adziim
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung
Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri). (Mughniyah; 2001) Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan :
Sami’allahuliman hamidah
Allah mendengar orang yang memuji-Nya
  1. Sujud : semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setipa rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. (Mughniyah; 2001)
Maliki, Syafi’i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah. (Mughniyah; 2001)
Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan. (Mughniyah; 2001)
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud. (Mughniyah; 2001)
  1. Tahiyyat : tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat. (Mughniyah; 2001)
Hambali : tahiyyat pertama itu wajib. Mazhab-mazhab lain : hanya sunnah.
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib. (Mughniyah; 2001)
Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi :
Attahiyatu lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu
Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera
’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
Menurut Maliki (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah
Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
Menurut Syafi’i : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah
Kehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
Menurut Hambali : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
Allahumma sholli ’alaa muhammad
Ya Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad
  1. Mengucapkan salam (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki, dan Hambali : mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 126).
Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu :
Assalaamu’alaikum warahmatullaah
Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian
Hambali : wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib. (Mughniyah; 2001)
  1. Tertib : diwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan daru sujud, begitu seterusnya. (Mughniyah; 2001)
10.  Berturut-turut : diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung, juga antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung setelah bertakbir tanpa ada selingan. Dan mulai ruku’ setelah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf. (Mughniyah; 2001)
Daftar Pustaka

As’ad, Aliy. 1980. ”Fathul Mu’in”. Kudus: Menara Kudus.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2001. ”Fiqih Lima Mazhab”. Jakarta: Lentera.
Muttaqin, Zainal, dkk. 1987. ”Pendidikan Agama Islam Fiqh”. Semarang: PT Karya tiga Putra.
Rasjid, Sulaiman. 2010. ”Fiqh Islam”. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Ridlwan, Dahlan, dkk. 2005. ”Fiqh”. Jakarta : Media Ilmu.
Rifa’i, Mohammad. 1976. ”Risalah Tuntunan Shalat Lengkap”. Semarang : PT. Karya Toha Putra.
<http://ajaranalqurandansunnah.blogspot.com&gt;

 https://jejakjejakjejak.wordpress.com/2011/07/27/persamaan-dan-perbedaan-sholat-4-mazhab/