بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dalam sejarah awal agama Islam, tercatat Rasulullah melakukan berbagai perang terhadap kaum kafir.  Perang perang tersebut paling banyak dilakukan ketika harus melawan kaum kafir Quraisy, kemudian melawan Romawi.  Perang perang tersebut dipimpin oleh para panglima perang Islam yang dengan gagah berani sekuat tenaga melawan musuh musuh Islam.
Berikut adalah urutan urutan perang dan sejumlah perjanjian damai penting yang dilakukan semasa Rasulullah.
  1. Bentrokkan Pertama atau Perang Badar Kecil dan masih berbentuk  sariyyah  terjadi beberapa kali yakni
    1. Tahun 623 M / 1 H, bulan Rajab : Sariyyah Abdullah bin Jahsy.   Ini adalah sariyyah atau satuan satuan pasukan Islam yang pertama yang dibentuk Rasulullah. Pada waktu itu bulan Rajab [ yang merupakah bulan haram ] tahun pertama Hijriah.
    2. Tahun 623 M / 1 H, bulan Syaban : Sariyyah Hamzah, pada bulan ke 8 [ Sya’ban ] Tahun Pertama Hijriah
    3. Tahun 623 M / 1 H, bulan SyawalSariyyah  Ubaidah bin Harits merupakan satuan perang ketiga yang dikirim Rasulullah setelah pasukan  Hamzah gagal tanpa ada hasil.  Pasukan perang ini dikirim Rasulullah pada bulan ke 10 [ Syawal ] tahun pertama Hijriah.
    4. perang  Al Abwa atau Waddan,
    5. Buwath,
    6. Safwan dan
    7. Asyirah
  2. Perang BadarRamadhan tahun 2 Hijriyah atau Tahun 624 M
  3. Perang Bani Qainuqa’.  Setelah perang Badar
  4. Perang Bani Nadhir. 6 bulan setelah perang Badar.  *Beberapa ahli sejarah Islam, menyebut perang atau pengusiran Bani Nadhir terjadi setelah perang Uhud, tepatnya pada bulan Rabi’ul Awwal, tahun ke-4 Hijriyah.
  5. Perang Uhud. 7 Syawal 3 H atau 22 Maret 625 M
  6. Perang Khandaq atau Perang Al Ahzab.  Bulan Syawal Tahun 5 atau  Tahun 627 M.
  7. Perang Bani Khuza’ah atau Perang Bani Musthaliq Atau Muraisi. Bulan Sya’ban tahun 5 Hijriyah atau  Tahun 627 M.
  8. Perang Bani Quraizhah.  Awal Dzulhijjah pada tahun ke-5 hijriyah atau  Tahun 627 M.
  9. Perjanjian Hudaibiyah.  pada 6 Hijriah atau 628 Masehi bulan Dzulkaidah
  10. Perang Khaibar.  Terjadi pada tahun 7 H atau 629 M
  11. Perang Mu’tah.  Terjadi pada 5 Jumadil Awal 8 H atau 629 M.
  12. Fathu Mekkah.  Terjadi pada 10 Ramadhan tahun 8 H atau 629 M.
  13. Perang Hunain.  Terjadi 10 Syawwal tahun 8 H.
  14. Perang Thaif.  Beberapa minggu setelah perang Hunain.
  15. Perang Tabuk. Terjadi 6 bulan setelah pengepungan Thaif, yakni pada bulan Rajab tahun ke 9 H atau 630 M.

Berikut adalah perang perang yang terjadi yang melibatkan umat Islam, setelah Rasulullah wafat :
  1. Perang/ perjanjian  Siffin
  2. Perang Bani Musthaliq atau Muraisi
  3. Perang Jamal
Ibnu Sa’d menyebutkan dalam kitabnya “at-Thabaqatul Kubra” bahwa jumlah Ghazwah Rasulullah ﷺ adalah sebanyak 27 kali, dan jumlah Sariyyah adalah sebanyak 47.
Sedangkan jumlah peperangan yang Rasulullah ﷺ ikut berperang serta didalamnya adalah 9 kali. yaitu sebagai berikut:
  1. al- Badr al-Kubra
  2. Uhud
  3.  al-Muraisi’
  4. al- Khandaq
  5. Quraizah
  6. Khaibar
  7. Fathu Mekkah
  8. Thaif
Perlu dicatat bahwa Ghazwah pertama yaitu Ghazwah al-Abwaa’ dan Sariyyah pertama adalah Sariyyah Hamzah bin Abdul Muththalib
Dalam melakukan perang perang Islam tersebut, Rasulullah ﷺ kerap turun langsung ke medan pertempuran [ Ghazwah ] tetapi kadang juga perang terjadi atas perintah Rasulullah ﷺ tanpa Rasulullah ﷺ turun langsung ke medan pertempuran.  Artinya bendera perang diserahkan kepada panglima perang yang ditunjuk Rasulullah ﷺ.


Ghazwah  [ Pertempuran yang  Rasulullah ﷺ ikut serta, baik Rasulullah sebagai Panglima maupun para sahabat yang ditunjuk ]
Waddan – Buwath – Safwan – Asyirah – Badar – Sawiq – Qaynuqa – Bahran – Al-Kidr – Hamra’ al-Asad – Uhud – Dzi Amr – Dzatu al-Riqa` – Dumatul Jandal – Khandaq – Bani Quraizhah – Bani Mustaliq – Bani Lahyan – Al-Gabah – Fathu MakkahKhaybar – Khaybar – Hunayn Tha’if Tabuk – Eid – Zakat – Thi Amr – Ghatfan – Bahran – Al-Asad – Badru Ukhra – Bani Nadhir – Thi Qerd – Hudaybiyyah – Awtas – Hawazan


Sariyyah [ Pertempuran yang terjadi atas perintah Rasulullah ﷺ, tetapi Rasulullah tidak ikut serta ] :
Penyergapan – Qirdah – Mu’tah – Dzatu as-Salasil – Yarmuk – Pengepungan Nakhla – Penyergapan Najd – Penyergapan Al-Is – Bani Sulaim – Invasi al-Khabt – Ekspedisi Batn Edam – Ekspedisi Qatan


Mengapa Rasulullah mengirimkan pasukan pasukan [ sariyyah ] lebih dulu ketimbang kafir Quraisy?

Satuan-satuan [ sariyyah ] yang mula-mula ini tidak lain maksudnya supaya pihak Quraisy mengerti, bahwa
kepentingan mereka sebenarnya bergantung kepada adanya saling pengertian dengan pihak Muslimin yang juga dari keluarga mereka, yang telah terpaksa keluar dari Mekah, karena mengalami tekanan-tekanan.
Pengertian ini berarti bahwa kedua belah pihak harus menghindari adanya bencana permusuhan dan kebencian serta menjamin bagi pihak Islam adanya kebebasan menjalankan dakwah agama, dan bagi pihak Mekah adanya keselamatan dan keamanan perdagangan mereka dalam perjalanannya ke Syam.
Sebenarnya perdagangan yang dikirimkan dari Mekah dan Ta’if dan yang didatangkan ke Mekah dari bagian Selatan, adalah perdagangan yang cukup besar. Sebuah kafilah adakalanya berangkat dengan 2.000 unta dengan muatan seharga lebih dan 50.000 dinar. Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah setiap tahunnya mencapai jumlah 250.000 dinar atau kira-kira 160.000 pounsterling. Apabila bagi pihak Quraisy sudah pasti bahwa bahaya yang mengancam perdagangan ini datangnya dari anak negeri sendiri yang kini sudah mengungsi ke Medinah, hal ini telah membuatnya berpikir-pikir dalam hal mengadakan saling pengertian dengan mereka, suatu saling pengertian yang memang diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan adanya kebebasan melakukan dakwah agama serta kebebasan memasuki Mekah dan melakukan tawaf di Ka’bah. Tetapi saling pengertian demikian ini takkan ada kalau Quraisy tidak dapat memperhitungkan
kekuatan pihak Muhajirin dari anak negerinya sendiri itu, yang kini akan mencegat dan menutup jalan lalu-lintas perdagangannya.
Inilah yang menurut penafsiran saya yang menyebabkan Hamzah dan rombongannya dari kalangan Muhajirin kembali, setelah berhadapan dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu keduanya dilerai oleh Majdi b. ‘Amr. Selanjutnya seringnya satuan-satuan Muslimin itu menuju rute perdagangan pihak Mekah dengan suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan bahwa mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian. Juga ini pula yang mengartikan betapa besarnya hasrat Nabi – setelah melihat kecongkakan Quraisy dan sikapnya dalam menghadapi kekuatan Muhajirin – ingin mengadakan perdamaian dengan kabilah-kabilah yang tinggal di sepanjang rute perdagangan itu serta mengadakan persekutuan dengan mereka yang beritanya tentu akan sampai juga kepada Quraisy. Dengan itu kalau-kalau mereka mau insaf dan kembali memikirkan perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.
Pendapat ini kuat sekali landasannya, yakni bahwa dalam perjalanan Nabi a.s. ke Buwat dan ‘Usyaira itu tidak sedikit kalangan Anshar dari penduduk Medinah yang menyertainya. Padahal Anshar itu hanya berikrar untuk mempertahankannya, bukan untuk melakukan serangan bersama-sama. Hal ini akan jelas terlihat dalam Perang Besar Badr, tatkala Muhammad kemudian kembali tanpa melakukan pertempuran, yang juga disetujui oleh orang-orang Medinah. Apabila pihak Anshar memang tidak melihat adanya suatu pelanggaran terhadap ikrar mereka jika Muhammad mengadakan perjanjian dengan pihak lain, ini tidak berarti bahwa mereka juga harus ikut memerangi penduduk Mekah. Bagi ke duanya alasan berperang yang akan dibenarkan oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka satu sama lain, tidak ada. Meskipun dalam perjanjian-perjanjian perdamaian yang diadakan Muhammad guna memperkuat kedudukan Medinah di samping melemahkan tujuan dagang Quraisy itu merupakan suatu proteksi, namun hal ini samasekali tidak berarti sama dengan suatu pengumuman perang atau sesuatu usaha lain kearah itu.
Jadi pendapat yang mengatakan bahwa keberangkatan satuan-satuan Hamzah, ‘Ubaida bin’l-Harith dan Sa’d bin Abi Waqqash hanya untuk memerangi Quraisy, dan menamakannya sebagai suatu penyerbuan, sukar sekali dapat dicernakan. Juga adanya pendapat bahwa kepergian Muhammad ke Abwa’, Buwat dan ‘Usyaira tidak lain dan suatu penyerbuan, adalah sangat dibuat-buat, yang pada dasarnya sudah tertolak oleh keberatan-keberatan yang kami kemukakan tadi. Penulis-penulis riwayat hidup Muhammad yang telah mengambil alih pendapat tersebut tidak lain memperlihatkan bahwa mereka menulis peri hidup Muhammad itu baru pada akhir-akhir abad kedua Hijrah, dan bahwa mereka sangat terpengaruh oleh adanya peperangan-peperangan yang terjadi kemudian sesudah Perang Besar Badr. Segala bentrokan-bentrokan yang terjadi sebelum itu, yang tujuannya bukan untuk berperang, lalu mereka anggap sebagai peperangan, yang dikaitkan pula pada peristiwa-peristiwa kaum Muslimin masa Nabi.
Dibalik satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi bersenjata ini barangkali masih ada tujuan lain yang dimaksud oleh Muhammad. Barangkali maksudnya akan menakut-nakuti orang-orang Yahudi tinggal di Medinah dan sekitarnya. Kita sudah menyaksikan, bahwa ketika Muhammad baru sampai di Medinah, pihak Yahudi berhasrat hendak merangkulnya. Akan tetapi setelah mereka mengadakan perjanjian perdamaian dan persetujuan akan kebebasan mengadakan dakwah agama serta melaksanakan upacara dan kewajiban agama, begitu mereka melihat keadaan Muhammad yang stabil dan panji Islam yang megah dan menjulang tinggi, mulai mereka membalik memusuhi Nabi dan berusaha hendak menjerumuskannya. Kalaupun dalam melakukan permusuhan ini mereka tidak berterus-terang karena dikuatirkan kepentingan perdagangan mereka akan jadi kacau bila sampai terjadi perang saudara antara penduduk Medinah, atau karena masih memelihara perjanjian perdamaian dengan mereka itu, maka mereka telah menempuh segala macam cara guna menyebarkan fitnah di kalangan orang-orang Islam serta membangkitkan kebencian antara Muhajirin dan Anshar, membangunkan kembali kedengkian lama antara Aus dan Khazraj dengan menyebut-nyebut sejarah Bu’ath dan cerita yang terdapat dalam persajakan.
Kaum Muslimin sudah mengetahui benar adanya komplotan mereka serta caranya yang berlebih-lebihan itu, sampai-sampai mereka dimasukkan kedalam kelompok kaum munafik, malah dianggap lebih berbahaya lagi. Mereka pernah dikeluarkan dari mesjid secara paksa. Orang tidak mau duduk-duduk atau bicara dengan mereka.  Dan akhirnya Nabi a.s. menolak mereka sesudah diusahakannya meyakinkan mereka dengan alasan dan bukti. Sudah tentu pula apabila orang-orang Yahudi Medinah dibiarkan berbuat sekehendak hati, mereka akan terus menjadi-jadi dan terus berusaha mengobarkan fitnah. Dari segi istilah kecermatan diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan meminta kewaspadaan terhadap kelicikan mereka itu saja, tapi harus pula supaya mereka berasa bahwa Muslimin juga punya kekuatan yang akan dapat menumpas setiap fitnah yang ada, membasmi jaringan-jaringan fitnah serta mengikis sampai ke akar-akarnya. Cara yang paling baik untuk membuat mereka merasakan hal ini ialah dengan mengirimkan satuan-satuan serta menghadapkannya pada benterokan-benterokan senjata pada beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan Muslimin itu jadi hancur, yang oleh pihak Yahudi memang diinginkan, dan juga diinginkan oleh pihak Quraisy.
Tipu-daya inilah yang sudah terjadi. Dan terjadinya ini terhadap orang semacam Hamzah, orang yang cepat marah. Untuk menghentikan pertempuran tidak cukup hanya dengan perantaraan seorang pemisah yang mengajak berdamai padahal belum terjadi suatu kontak senjata. Kemudian berhentinya pertempuran itupun dengan terhormat, dengan suatu siasat yang sudah teratur, dengan taktik yang jelas bermaksud mencapai tujuan-tujuan tertentu, yakni seperti yang sudah kita sebutkan – dari satu segi guna menakut-nakuti pihak Yahudi, dan dari segi lain suatu usaha ke arah persetujuan dengan pihak Quraisy untuk memberikan kebebasan yang penuh dalam menjalankan dakwah agama serta upacara-upacara keagamaan, yang sebenarnya memang tidak perlu sampai terjadi perang.
Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa Islam menolak perang dalam hal membela diri dan membela keyakinan terhadap siapa saja yang hendak memperdayanya. Sekali-kali tidak. Bahkan Islam mewajibkan pembelaan demikian ini. Tetapi artinya, Islam masa itu, juga sekarang dan demikian pula seterusnya, ia menolak perang permusuhan.
“Dan janganlah kamu melakukan pelanggaran (agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan pelanggaran.” (Quran, 2: 190)
Apabila kepada Muhajirin pada waktu itu dibenarkan menuntut harta-benda mereka yang telah ditahan oleh Quraisy ketika mereka hijrah, maka membela orang-orang beriman yang mau diperdaya dari agama mereka lebih-lebih lagi dibenarkan. Untuk maksud inilah pertama sekali hukum perang itu diundangkan.
•••

Perang Perang Semasa Khalifa Abu Bakar Ash Shiddiq

  1. Melanjutkan Perang Ke Syam [ berlangsung selama 40 hari ]
  2. Perang Riddah [ berlangsung selama 1 tahun, 632 M – 633 M ]
  3. Perang Menumpas Nabi Palsu
    1. Thulaihah Al-Asadi
    2. Musailamah Al Kazab
  4. Perang Di Iraq
    1. Dzatus Salasil,
    2. Madzar,
    3. Walujah,
    4. Ullais,
    5. Herat,
    6. Anbar,
    7. ‘Ain Tamar,
    8. Dumatul Jandal,
    9. Al-Hushaid dan
    10. Al-Firadh
  5. Perang Di Syam
Wallahu a’lam bishowab
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ♥ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ♥ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ♥ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ♥ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ