Mazhab sebagai aliran fiqih, terdapat empat mazhab terkenal. Keempat mazhab fikih Islam yang pada umumnya diakui ekistensinya di dalam masyarakat muslim dan termasuk golongan ahli sunnah diantaranya Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi. Semua ummat Islam apapun mazhabnya haruslah menjadikan Rasulullah SAW sebagai panutannya [1],
terutama dalam bersikap dan moral kehidupannya sebagai orang yang
jujur, ikhlas, sabar, tegar, amanah, penyayang, terbuka, taat beribadah
maupun beramal-sholeh, ramah, berakhlaq dan sebagainya.
Ada pula mazhab Syi’ah (salah satu sektenya Rafidiyah: terkenal bersikap menolak ke-khalifah-an Abu Bakar, Umar, dan Usman. Mereka hanya mengakui ke-khalifah-an Ali). Mazhab lainnya yaitu Zhahiri, Dhahiriyah / Dawudi dinisbatkan oleh Dawud Ibn Khalaf, Zaydy, Awza’i, Jaririyah dibentuk oleh al-Thabari, Sofyan dan oleh al-Tsawri. Namun sejumlah mazhab tersebut tidak berkembang dan tidak bertahan. Mazhab Ja’fari adalah sebagai pelopor lahirnya mazhab-mazhab lainnya.
Mengapa kita perlu mengenal perbedaan yang ada diantara penganut aliran ke-Islaman tertentu, terutama mengenai fikih dan perbandingan mazhab?
Ini dimaksudkan agar supaya ada saling pengertian antar golongan dan
tidak saling memutlakkan pendapat pribadi atau golongan sebagai yang
paling benar, supaya tidak mudah memvonis seseorang atau golongan lain
sebagai aliran sesat, disamping untuk menambah pengetahuan ke-Islam-an
dan ke-Iman-an kita. Juga menekankan perlunya pemahaman yang baik
mengenai ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan ummat Islam). Sebagaimana disebutkan Al-Qur’an: “Sesungguhnya
semua orang yang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah diantara dua
saudaramu, bertaqwalah kepada Allah mudah-mudahan kamu mendapat
rahmat-Nya”. Maksudnya adalah kompromi (give and take),
tidak boleh mengklaim sebagai yang paling benar. Dan tidak perlu ada
kekerasan serta pemaksaan terhadap golongan lain untuk mengikuti atau
mengakui apa yang menjadi keyakinan kelompoknya. Haruslah dipahami bahwa
Islam itu adalah ‘damai’ dan perbedaan-perbedaan itu adalah ‘wajar’
serta dapat pula diambil hikmahnya. Perbedaan-perbedaan terutama fikih ini sudah terjadi sejak masa Rasul
dan masa para sahabat. Diantaranya kasus Abu Bakar dan Umar, Ibn Mas’ud
dan Utsman, juga masalah menyembelihan dan bercukur dalam hajji, tayamum dan shalat lagi, dan sebagainya.
Ada beberapa catatan mengenai perbedaan pendapat fikih seperti dalam hal shalat, masalah perkawinan dan lainnya. Adapun contohnya sebagai berikut ini:
- Dalam masalah shalat: mengusap kepala dalam wudhu menurut ahli sunnah mazhab Maliki seluruh kepala tanpa telinga, mazhab Syafi’i sebagian kepala, mazhab Hanafi seperempat kepala, mazhab Hambali seluruh kepala dengan telinga, dan kelompok Syi’ah yaitu mazhab Ja’fari sebagian kepala depan. Membaca surat Al-Fatihah dalam shalat fardhu menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah wajib dalam semua rakaat, sedang Hanafi tidak wajib, dan menurut Ja’fari wajib dalam dua rakaat pertama. Dalam hal mengucap salam menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah wajib, menurut Hanafi tidak wajib dan menurut Ja’fari adalah sunnat. Dalam hal Qunut Subuh dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi melakukan Qunut Subuh dan Maghrib, menurut Maliki dianjurkan (mustahabb), Syafi’i sunnat, dan menurut Hanafi tidak boleh. Dalam shalat jamaah Jum’at jumlah minimal menurut Maliki 12 orang laki-laki, Syafi’i dan Hambali 40 orang laki-laki, Hanafi 5 orang laki-laki, dan Ja’fari 4 orang laki-laki. Wudhu menyentuh wanita menurut Maliki batal kalau dengan telapak tangan, Syafi’i dan Hambali adalah batal, Hanafi dan Ja’fari tidak batal. Shalat jamak karena bepergian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah boleh, sedang Hanafi adalah tidak boleh, dan Ja’fari mewajibkan. Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi melakukan jamak tanpa sebab (tidak bepergian, tidak hujan dan tidak pula sedang berperang). Menurut Syafi’i dan Hambali adalah boleh, sedang Maliki dan Hanafi tidak boleh dilakukan, dan menurut Ja’fari adalah wajib. Shalat berjamaah menurut Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Ja’fari adalah sunnat, sedangkan Hambali adalah wajib. Dan untuk shalat Tarawih menurut Syafi’i, Hanafi dan Hambali 20 rakaat, dan Maliki 36 rakaat.
- Dalam masalah perkawinan: akad nikah tanpa wali menurut Syafi’i dan Hambali adalah batal, menurut Maliki, Hanafi dan Ja’fari adalah sah. Adanya saksi dalam akad nikah menurut Syafi’i, Hanafi, Hambali adalah wajib, menurut Maliki tidak wajib dan Ja’fari dianjurkan (mustahabb). Walimahan menurut Syafi’i adalah wajib dan Maliki adalah sunnat. Kifarat bila bersetubuh pada bulan Ramadhan menurut Syafi’i hanya pada pria saja, sedang Maliki pada pria dan wanita. Bermain-main (bukan bersetubuh) pada saat haid menurut Syafi’i dan Hanafi adalah haram kalau tanpa aling-aling (pakaian / kain), menurut Maliki adalam haram, sedang Hambali dan Ja’fari adalah boleh. Saksi dalam talak menurut Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali adalah tidak perlu, sedangkan menurut Ja’fari adalah wajib.
- Dalam masalah lainnya: seperti masalah air mani menurut Syafi’i dan Hambali adalah suci, sedang menurut Maliki, Hambali dan Ja’fari adalah najis. Wudhu kemudian muntah menurut Syafi’i, Maliki dan Ja’fari tidak batal, menurut Hanafi batal jikalau penuhi mulut, dan bagi Hambali adalah batal. Bermalam di Mina pada hari Tasyriq menurut Syafi’i dan Maliki adalah wajib, Hanafi sunnat, Ja’fari dan Hambali adalah boleh. Menyentuh mushaf Qur’an tanpa wudhu menurut Maliki, Syafi’i dan Hanafi adalah haram, sedangkan menurut Hambali dan Ja’fari boleh dengan aling-aling. Buka puasa dalam perjalanan menurut Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali adalah boleh, dan menurut Ja’fari justru diwajibkan. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan lainnya.
Dalam sejarah pengkajian fikih, bermunculan ahlu mazhab,
antara lain: Hasan Basri, Ats Tsaury Ibnu Abi Laila, Al Auza’iy, Al
Laitsi dan Imam Dawud Al Zhairi. Perkembangan dari waktu ke waktu,
setelah diadakan evaluasi dan seleksi sampai saat ini hanya empat mazhab yang mendapat dukungan para ulama yaitu Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi.
1.
Mazhab Maliki
Imam Maliki (Malik ibn Anas Al Ashbaqi 93-179 H) lahir di Madinah pada tahun 93 H / 712 M, (versi
Qodi’Iyad: 93 H – 189 H [2])
konon ia dikandung 12 bulan, bahkan riwayat lain selama 3 tahun. Dan sekitar 57
tahun lebih tua dari Imam Syafi’i.
Beliau adalah seorang ulama atau Imam yang tekun mengumpulkan hadits dan menghafalnya. Ia hidup pada
masa Tabi’in dan Tabi’tabi’in (orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi dan orang
yang berjumpa dengan orang yang telah berjumpa dengan sahabat Nabi). Pada saat
itu Ia hidup di kota kerajaan Islam di Kota Kuffah. Adapun Madinah,
di kala itu termasuk kota yang sepi, hanya dihuni oleh pemangku-pemangku hadits, ahli tafsir, ulama ahli tashawuf, meraka terdiri dari Sahabat
Nabi, Tabi’in dan Tabi’tabiin. Sedang kota Kuffah didiami
oleh jago-jago politik, yang tidak kalah pula fungsinya dengan ulama-ulama.
Oleh sebab itu dasar Mazhab Maliki
diantaranya ialah amalan orang Madinah (Ulama Madinah). Imam
Malik adalah seorang “Huffazh”
(penghafal hadits) nomor satu pada
zamannya. Tidak ada seorangpun yang bisa menandingi beliau dalam hal
penghafalan hadits. Pada usia 40
tahun 100.000 hadits yang sudah
dihafal diluar kepala itu, lalu diteliti pe-rawi-nya
dan beliau cocokkan dengan ayat-ayat suci Al
Qur’an tentang arti dan tujuannya. Pada akhirnya hanya 5000 hadits yang oleh beliau dianggap shahih. Dan kemudian beliau kumpulkan
menjadi satu dalam kitab yang diberi nama “Almuwaththa”
(yang disepakati). Sesuai dengan namanya “Almuwaththa”
yang disepakati, karena kitab tersebut telah dimufakati oleh 70 ulama fiqih di Madinah. Imam Safi’i berkomentar: “Kitab yang paling shahih sesudah Al Qur’an,
ialah “Almuwaththa”.[3]
Maliki ialah mazhab fiqh
yang tertua dalam Islam sunni. Mazhab Maliki diamalkan di Utara Afrika dan
sebahagian Afrika Barat. Mahzab ini
mempunyai bilangan pengikut lebih kurang 25% daripada muslim.
Mazhab ini berbeda daripada
tiga mazhab yang lain kerana terdapat
tambahan kepada sumbernya. Selain menggunakan Al Qur’an, hadis, ijma' dan qiyas,
Imam Maliki juga menggunakan amalan orang Islam Madinah pada zamannya itu
sebagai sumber tambahan. Mengikuti arahan Imam Malik, merupakan juga amalan
orang Madinah dilihat sebagai sunnah
yang hidup seakan memandang Nabi Muhammad berhijrah, tinggal dan wafat di Madinah, dimana kebanyakan sahabat
Nabi tinggal di Madinah. Kesannya, hadits
yang dikaji oleh mazhab ini agak
berbeda daripada mazhab yang lain.
Dasar-dasar pokok dari Mazhab Maliki
yaitu berpegang pada:
1) Al Qur’an;
2) Sunnah Rasul SAW yang
dipandang sah;
3) Ijma’
Ahl Madinah (kadang menolak hadits yang berlawanan atau tidak diamalkan
oleh para ulama Madinah);
4) Qias (kias / analogi / membandingkan);
5) Istislah. (istilah fikih,
yaitu pendapat bahwa sesuatu
Adalah salih karena berfaedah, bijak untuk
kepentingan dan keperluan umum)
Mazhab ini
banyak penganutnya di Tunisia, Tripoli, Maroko, Aljazair, Mesir Atas dan
beberapa daerah Afrika.[4]
2.
Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i (Abu Abdullah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i 150 – 204
H) dilahirkan di Gazza, sebuah
kampung diAsqolan, bagian selatan Palestina, pada tahun 150 H, keturunan suku
Quraisj. Walaupun beliau dilahirkan di Ghazza (Palestina), tetapi tumbuh dewasa
kampung halamannya di Mekkah. Ayah-Ibunya datang kesana untuk suatu
keperluan dan tidak lama beliau lahir disitu. Beliau menjadi anak yatim, sebab
sejak kecil sebelum mereka kembali ke Mekkah ayahnya telah wafat di Ghazza. Nama asli dari Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris dengan bergelar Abu Abdillah. Dalam urutan nasab, beliau mempunyai hubungan erat
dengan nenek moyang Nabi Muhammad SAW.
Nenek moyang beliau jika dijabarkan maka sebagai berikut: Muhammad bin Idris,
bin Abbas, bin Utsman, bin Syafi’i bin Saib, bin Abi Yazid, bin Hasyim, bin
Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, bin Qushal. Dari pihak ibu: Muhammad bin
Fatimah, binti Abdullah, bin Hasan, bin Husen, bin Ali, bin Abi Thalib r.a.
Gelar sebagai Imam Syafi’i diambil
dari nama kakek beliau yang ke empat, yaitu Syafi’i bin Saib. Catatan penting
lainnya adalah pada umur 2 tahun kembali ke Mekkah Almukarramah bersama ibunya.
Ketika masih kecil belajar membaca Al
Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthin. Pada usia 9 tahun beliau hafal Al Qur’an 30 juz diluar kepala. Ia
pandai tatabahasa, syair dan ilmu bahasa. Ia menghafalkan kitab al-Muwaththa’ dalam satu malam. Dalam
usia 15 tahun diberi tugas oleh gurunya Muslim bin Khalid Azzanjiy mengajar di
Masjidil Haram, memberikan fatwa, sehingga mengagumkan orang-orang yang naik Hajji pada masa itu. Pada tahun 170 H,
beliau pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Maliki dengan membawa
sepucuk surat dari gurunya Muslim bin Khalid yang ditujukan kepada Imam Malik
bin Anas. Dalam perjalanan yang memakan waktu 8 hari 8 malam itu, Imam Syafi’i
membaca Al Qur’an 16 kali khatam. Pengetahuannya tentang Al Qur’an tak terkalahkan di
zamannya, secara istimewa dicurahkan
tenaganya untuk mempelajari sunnah
Nabi. Sebagai ulama besar dimana hasil ijtihadnya
Imam Syafi’i dikenal dengan sebutan “Mazan
Imam Syafi’i”. Beliau juga selama setahun tidak pernah pisah dengan Imam
Malik. Beliau disamping menjadi murid juga diangkat sebagai pembantu Imam Malik[5]
dan mengenal dengan baik ajaran Imam
Hanafi dan Imam Malik. Ia
mengembara ke Yaman, Baghdad dan menetap di Mesir, dan wafat pada hari kamis
malam jum’at tanggal 29 Rajab 204 H / 820 M, dan dimakamkan di Zahro. Kitab-kitab
Imam Syafi’i antara lain: a) Ar Rizalah
(kitab ushul fiqih pertama), b) Al Umm merupakan kitab besar ilmu fiqih, c) Ikhtifatul Hadits, berisikan tentang perselisihan hadits-hadist Nabi SAW, dan d) Al Musnad, berisikan sandaran (sanad) Imam Syafi’i dalam meriwayatkan hadits-hadits. Ajaran Syafi’i terutama
berdasarkan Sunnah seperti ajaran
Imam Malik, tetapi data-data yang digunakan jauh lebih banyak dan berasal dari
berbagai tempat. Dasar-dasar mazhab
Syafi’i dapat dilihat dalam kitab Usul
al-Fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh
al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi’i menjelaskan kerangka dan
prinsip mazhabnya serta beberapa
contoh dalam merumuskan hukum far'iyyah
(yang bersifat cabang).
Dasar-dasar atau asas-asas pokok mazhab Syafi’i
berpegang pada:
1) Al
Qur’an;
2) Tafsir lahiriahnya Al Qur’an selama tak ada dalil yang
menegaskan
bahwa yang dimaksud bukan lahiriahnya; Imam Syafi’i pertama sekali selalu mencari
alasannya dari Al-Qur'an dalam
menetapkan hukum Islam.
3) Sunnah Nabi SAW; Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika
tidak ditemukan rujukan dari Al-Qur’an.
Imam Syafi’i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir
As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
4) Ijma’ ,hukum
yang tak ada dalam Al Qur’an dan Hadits, keputusan diambil alim-ulama dan
atas kata sepakat (tidak diketahui ada perselisihan tentang sesuatu); Ijma’ para Sahabat Nabi, yang tak diketahui pula ada
perselisihan tentang hal itu. Ijma'
yang diterima Imam Syafi’i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya
hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
5) Qias
(ditolak dasar istihsan dan dasar ihtislah). Kias yang
dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya.
Akan tetapi Imam Syafi’i menolak dasar istihsan
dan istislah sebagai salah satu cara
menetapkan hukum Islam.
6) Istidlal, adalah suatu istilah fikih, yakni mencari atau menegakkan
dalil daripada penetapan akan dan kesimpulan-kesimpulannya atau dari seseorang
yang mengetahuinya, yang dipandang sebagai ushul
fikh.
7) Istishab
(suatu istilah fikih), yaitu
mencari hubungan, sambungan, berusaha menghubungkan sesuatu dengan keadaan
sebelumnya. Berarti membawa serta sesuatu yang telah ada di masa lalu ke
masa sekarang. Istishab merupakan
salah satu pegangan dalam menetapkan hukum yang tidak mempunyai dalil yang
tegas dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma
maupun Qiyas. Dengan perinsip istishab manusia dapat memberlakukan
suatu dalil hukum yang berlaku pada masa lampau, tanpa adanya keterangan bahwa
hukum itu berlaku seterusnya. Misalnya, memberlakukan ketentuan bahwa asal
hukum segala sesuatu adalah boleh, kecuali bila ada larangan yang jelas, bagi
hal-hal baru yang illatnya tidak
ditemukan. Salah satu dasar pokok mazhab
Syafi’i. Sebagian ulama terutama dari
kelompok Hanafiah tidak menerima istishab sebagai pegangan dalam
menetapkan hukum).
Penduduk terbanyak masuk dalam mazhab ini adalah Indonesia, Mesir Bawah, Arabia Barat (Saudi Arabia), Syria,
Semenanjung Malaya (Malaysia-Singapura), Pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut,
Bahrain, Indonesia dan beberapa negara di Asia Tengah.[6]
Imam Syafi’i,
begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini, terasa begitu lekat di
dalam hati, setelah nama-nama seperti Khulafaur
Rasyidin. Namun orang-orang mengenal Imam Syafi’i hanya dalam kapasitasnya
sebagai ahli fiqih. Padahal sebenarnya
beliau juga adalah tokoh dari kalangan ummat Islam dengan multi keahlian. Ketika
memasuki Baghdad, beliau dijuluki Nashirul
Hadits (pembela hadits). Dan Imam
Adz-Dzahabi menjuluki beliau dengan sebutan Nashirus
Sunnah (pembela sunnah) dan salah
seorang Mujaddid (pembaharu) pada abad kedua hijriyah. Muhammad bin Ali bin Shabbah Al-Baldani berkata: “Inilah wasiat
Imam Syafi’i yang diberikan kepada para sahabatnya, ‘Hendaklah Anda
bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Satu,
yang tiada sekutu bagiNya. Dan
sesungguhnya Muhammad bin Abdillah adalah hamba dan RasulNya. Kami tidak
membedakan para rasul antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, Tuhan
semesta alam yang tiada bersekutu dengan sesuatu pun. Untuk itulah aku diperintah,
dan saya termasuk golongan orang yang menyerahkan diri kepadaNya. Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala membangkitkan orang dari kubur dan sesungguhnya Surga
itu haq, Neraka itu haq, adzab Neraka itu haq, hisab itu haq dan timbangan amal
serta jembatan itu haq dan benar adanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas
hambaNya sesuai dengan amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan
mati, dan dibangkitkan lagi Insya-Allah. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah
kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan makhluk ciptaanNya. Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala di hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin
dengan mata telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu penghalang, dan mereka
mendengar firmanNya, sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy. Sesungguhnya takdir,
baik buruknya adalah berasal dari Allah Yang Maha Perkasa dan Agung. Tidak
terjadi sesuatu kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dan Dia
tetapkan dalam qadha’ qadarNya. Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah
Baginda Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali radhiallahu’anhum. Aku
mencintai dan setia kepada mereka, dan memohonkan ampun bagi mereka, bagi
pengikut perang Jamal dan Shiffin, baik yang membunuh maupun yang terbunuh, dan
bagi segenap Nabi. Kami setia kepada pemimpin negara Islam (yang berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah) selama mereka mendirikan shalat. Tidak boleh
membangkang serta memberontak mereka dengan senjata. Kekhilafahan
(kepemimpinan) berada di tangan orang Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang
banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun diharamkan. Dan nikah mut’ah adalah
haram. Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya. Tinggalkanlah bid’ah dan hawa nafsu. Bertaqwalah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala sejauh yang engkau mampu. Ikutilah shalat Jum’at,
jama’ah dan sunnah (Rasullullah Shallallahu’alaihi wasallam). Berimanlah dan
pelajarilah agama ini. Siapa yang mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka
bimbinglah aku membaca “Laailahaillallah wahdahu lasyarikalahu waanna
Muhammadan ‘abduhu warasuluh”.
Di antaranya yang
diriwayatkan oleh Abu Tsaur dan Abu Syu’aib tentang wasiat Imam Syafi’i adalah:
“Aku tidak mengkafirkan seseorang dari
ahli tauhid dengan sebuah dosa, sekalipun mengerjakan dosa besar, aku serahkan
mereka kepada Allah Azza Wajalla dan kepada takdir serta iradah-Nya, baik atau
buruknya, dan keduanya adalah makhluk, diciptakan atas para hamba dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang dikehendaki menjadi kafir, kafirlah dia, dan
siapa yang dikehendakiNya menjadi mukmin, mukminlah dia. Tetapi Allah Subhanahu
wa Ta’ala tidak ridha dengan keburukan
dan kejahatan dan tidak memerintahkan atau menyukainya. Dia memerintahkan
ketaatan, mencintai dan meridhainya. Orang yang baik dari ummat Muhammad
Shallallahu’alaihi wasallam masuk Surga bukan karena kebaikannya (tetapi karena
rahmatNya). Dan orang jahat masuk Neraka bukan karena kejahatannya semata. Dia
menciptakan makhluk berdasarkan keinginan dan kehendakNya, maka segala sesuatu
dimudahkan bagi orang yang diperuntukkannya, sebagaimana yang terdapat dalam
hadits. (Riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya). Aku mengakui hak pendahulu
Islam yang sholeh yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyertai
NabiNya, mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari apa yang terjadi di
antara mereka, pertentangan ataupun peperangan baik besar maupun kecil. Aku
mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Utsman kemudian Ali radhiallahu
‘anhum. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin. Aku ikat hati dan lisanku, bahwa
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan, bukan makhluk yang diciptakan.
Sedangkan mempermasalahkan lafazh (ucapan seseorang yang melafazhkan Al-Qur’an
apakah makhluk atau bukan) adalah bid’ah, begitu pula sikap tawaqquf (diam,
tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu bukan makhluk, juga tidak mau mengatakan
Al-Qur’an itu makhluk”) adalah bid’ah. Iman adalah ucapan dan amalan yang
mengalami pasang surut.[7]
Kesimpulan wasiat
di atas yaitu bahwa aqidah Imam
Syafi’i adalah aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Sumber aqidah Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan: sebuah ucapan seperti apapun
tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar) Kitabullah atau Sunnah
RasulNya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah,
maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya)[8], Waallu a’lam. Manhaj Imam Syafi’i
dalam aqidah menetapkan apa yang
ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan RasulNya, dan menolak apa yang
ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
RasulNya. Karena itu beliau
menetapkan sifat istiwa’ (Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di
atas), ru’yatul mukminin lirrabbihim
(orang mukmin melihat Tuhannya) dan lain sebagainya. Dalam hal sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Imam Syafi’i
mengimani makna zhahirnya lafazh
tanpa takwil (meniadakan makna
tersebut) apalagi ta’thil
(membelokkan maknanya). Beliau berkata: “Hadits
itu berdasarkan zhahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka
makna yang lebih mirip dengan zhahirnya itu yang lebih utama.” [9]
Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang harus diimani, maka beliau menjawab,
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitabNya dan
dijelaskan oleh NabiNya kepada ummatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya
setelah hujjah (keterangan) sampai
kepadanya karena Al-Qur’an turun
dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu. Maka barangsiapa yang menolaknya
setelah tegaknya hujjah, ia adalah
kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah,
ia adalah ma’dzur (diampuni) karena
kebodohannya, sebab hal (nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan
pemikiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini”
(dua tangan), dengan firmanNya, yang artinya: “Tetapi kedua tangan Allah terbuka”
(QS: Al-Maidah: 64). Dia memiliki
wajah, dengan firmanNya, yang artinya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali
wajahNya” (QS: Al-Qashash:
88)”.[10]
Kata-kata “As-Sunnah” dalam ucapan dan wasiat Imam Syafi’i dimaksudkan untuk
tiga arti. Pertama, adalah apa saja yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah, berarti lawan dari bid’ah. Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid (lawan dari kalam atau ra’yu). Berarti ilmu tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu pula sebaliknya. Imam
Syafi’i berkata: “Siapa yang mendalami
ilmu kalam, maka seakan-akan ia telah menyelam ke dalam samudera ketika
ombaknya sedang menggunung”.[11]
Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi’i dengan
sebutan Ahlul Hadits. Karena itu
beliau juga berwasiat: “Ikutilah Ahlul
Hadits, karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya.”[12]
Dan “Ahli Hadits di setiap zaman adalah
bagaikan sahabat Nabi.” [13]
Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh Imam Syafi’i untuk diikuti
adalah Imam Ahmad bin Hambal, murid Imam Syafi’i sendiri yang menurut Imam
Nawawi: “Imam Ahmad adalah imamnya Ashhabul
Hadits, imam Ahli Hadits”.[14]
Pemikiran fiqih mazhab Syafi’i ini
diawali oleh Imam Syafi’i, yang hidup pada zaman pertentangan antara aliran
ahli hadits (cenderung berpegang pada
teks hadits) dan ahl al-ra'y (cenderung berpegang pada akal fikiran atau ijtihad). Imam Syafi’i belajar kepada
Imam Malik sebagai tokoh ahli hadits,
dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh ahl al-ra'y yang juga murid Imam Abu Hanifah.
Imam Syafii kemudian merumuskan aliran
atau mazhabnya sendiri, yang dapat
dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi’i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun
demikian mazhab Syafii menerima
penggunaan qiyas secara lebih luas
ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut,
keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fiqih,
Usul al-Fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut;
dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.
Imam Syafi’i pada awalnya pernah
tinggal menetap di Baghdad.
Selama ia tinggal di sana,
ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya,
yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim (pendapat yang lama). Ketika
kemudian Imam Syafi’i pindah ke Mesir kerena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil
mempengaruhi kekhalifahan, ia melihat
kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian
mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru
yang berbeda, atau yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid (pendapat yang
baru). Imam Syafi’i berpendapat bahwa qaul
jadid tidak berarti menghapus qaul
qadim. Jika terdapat kondisi yang cocok baik dengan qaul qadim maupun dengan qaul
jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian, kedua qaul tersebut sampai sekarang masih
tetap dianggap berlaku oleh para pemegang mazhab
Syafi’i.
Penyebar-luasan pemikiran mazhab Syafi’i berbeda dengan mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip
dasar mazhab Syafi’i terutama
disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama Imam
Syafi’i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan mazhab Syafi’i pada awalnya adalah: Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w.
846), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878), dan Ar-Rabi bin Sulaiman
al-Marawi (w. 884).
Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal
sebagai ulama hadits terkemuka dan
pendiri firqah mazhab Hanbali, juga
pernah belajar kepada Imam Syafi’i. Selain itu, masih banyak ulama-ulama yang
kemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan mazhab Syafi’i, antara lain:Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, Imam
Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa'i, Imam Baihaqi, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah,
Imam Tabari, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Abu Daud, Imam Nawawi, Imam
As-Suyuti, Imam Ibnu Katsir, Imam Dhahabi, dan Imam Al-Hakim.
Imam Syafi’i terkenal sebagai perumus
pertama metodologi hukum Islam (Usul
al-Fiqh), tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, melainkan ilmu ini baru
lahir setelah Imam Syafi’i menulis Ar-Risalah.
Mazhab Syafi’i umumnya dianggap sebagai mazhab
yang paling konservatif diantara mazhab-mazhab
fiqih sunni lainnya, dimana berbagai ilmu keIslaman telah berkembang berkat
dorongan metodologi hukum Islam dari para pendukung mazhab ini. Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya
tingkat ketelitian yang dituntut oleh mazhab
Syafi’i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang
menjadi pendukung setia mazhab ini. Di
antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Ahli Sunah Waljamaah di bidang mereka masing-masing. Saat ini, mazhab Syafi’i diperkirakan diikuti oleh
28%-35% ummat Islam sedunia, dan merupakan mazhab
terbesar dalam hal jumlah pengikut.
3.
Mazhab Hambali
Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal bin Hilai, lahir
di Baghdad tahun 164 H tumbuh dewasa di kota ini dan wafat pada usia 77 tahun
di hari jum’at Rabi’ul Awwal tahun 241 H / 855 M. Setelah menderita sakit
selama beberapa minggu. Dan di makamkan di Bab Harb di Kota Baghdad. Nama
Hambali ia sandang dari nama datuknya, sejak kecil dikenal dengan nama Ahmad
bin Hambal. Ia belajar ilmu fiqh kepada
al-Syafi’I, dan mencurahkan dirinya terhadap sunnah yang menjadikan sebagai tokoh besar di zamannya. Kitab–kitab
Imam Hambali antara lain: a) Tafsir Al
Qur’an, b) An Nasikh wal Mansukh,
c) Al Muqoddam wal Muakhkhor fil Qur-an,
d) Al Manasikul Kabir, e) Al Illah, f) Al Musnad yang berisi 40.000 hadits
(di Indonesia hanya dikenal Al Musnad
terdiri 6 jilid, Al Waro’i dan Ash Sholah). Mazhab Hambali berdasarkan atas nash,
yaitu Al-Qur’an dan Hadist yang shahih, fatwa sahabat, pendapat sahabat paling dekat dengan Al Qur’an dan hadits, hadits dha’if
yang tidak terlalu lemah dan hadits
mursal, dan yang terakhir, jika terpaksa, juga qiyas. Karena itu mazhab
ini digolongkan sebagai aliran ahlu
‘l-hadits yang mendahulukan hadits walaupun
dhaif daripada ra’ya. Ulama-ulama yang berjasa mengembangkan mazhab Hambali antara
lain Abu ‘l-Qasim al-Karkhi (wafat tahun 881 M), Abdu ‘l-Aziz Ja’far (wafat
tahun 910 M), Ibnu Qudamah (wafat tahun 1164 M), Ibnu Taymiah (wafat 20 Syawal
tahun 749 H [15] / 1273 M) dan Ibnu Qayyim (wafat tahun
1296 M). Penganut mazhab ini terutama
terdapat di Arab Saudi.[16]
Mazhab Hanbali adalah satu daripada empat mazhab fiqih terkenal dalam aliran ahli sunnah wal jamaah Mazhab ini juga mendapat pengikut dari aliran Wahabi dan Salafi tetapi
posisi ini tidak diakui oleh sarjana Islam. Aliran Salafi merujuk mazhab Hanbali
sebagai mazhab Athari. Mazhab Hambali ini kebanyakan diamalkan
oleh masyarakat Islam di Semenanjung Arab.
Dasar-dasar pokok mazhab Hambali
berpegang pada:
1)
Al Qur’an;
2)
Hadits Marfu’;
3)
Fatwa-fatwa para sahabat dan fatwa-fatwa
sahabat yang lebih dekat pada Qur’an
dan Sunnah, diantara fatwa-fatwa yang
berlawanan;
4)
Hadits Mursal dan hadits
Da’if, ialah hadits yang
derajatnya kurang daripada sahih;
5)
Qias (kias / analogi / membandingkan).
Mazhab ini
banyak dianut penduduk Arabia Tengah, di Saudi Arabia (terutama kaum Wahabi dan tokoh lainnya adalah Ibnu Taymiiah[17]
yang kemudian dijadikan sumber doktrin dalam memberantas tradisi pengagungan
(ziarah) kubur para Wali dan orang muslim), juga dipedalaman Oman dan beberapa
tempat disepanjang Teluk Parsi dan beberapa kota Asia Tengah.[18]
Kini mulai berkembang di Malaysia dan Asia tenggara.
4.
Mazhab Hanafi (699-767)
Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada
Ahmad Ibn Hambal: Abu Abdillah. Imam Abu
Hanifah Nu’man ibn Thabit al-Taymi (80-150 H). Ia keturunan Parsi,
dilahirkan di Basra tahun 699 M dan berusia 70 tahun dan wafat pada bulan Rajab
tahun 150 H, di Kuffah (Bagdad).[19]
Menurut versi Qodi’Iyad Ia wafat 350 H[20].
Makamnya ada di Al Khoizaron, Baghdad. Nama sebenarnya Nu’man putra dari Tsabit
bin Zautho bin Mah, keturunan bangsa Ajam. Kata ‘hanif’ dalam bahasa Arab
berarti cenderung kepada agama yang benar. Riwayat yang lain mengatakan beliau
erat dengan tinta guna mencatat ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Ayahnya
keturunan Persia yang berasal dari Afganistan. Abu Hanifah pernah berguru kepada Atha bin Abi Rabah, Imam Muhammad
bin Abu Sulayman, Imam Nafi’ Mawla Ibnu Umar dan Imam Muhammad al-Baqir.
Hanifah termasuk tabi’in sebab ia masih sempat berjumpa dengan beberapa sahabat
Nabi Muhammad misalnya Abi Awfa, Watsilah bin al-Aqsa, Ma’qil bin Yasar, Abullah
bin Anis dan Abu Tufayl. Selain sebagai ulama dan Imam Mazhab, Hanifah juga wiraswastawan yang berhasil namun hidupnya
sangat wara’ dan zuhud serta pemurah. Hubungannya dengan penguasa tidak begitu
baik, karena selalu menolak tawaran khalifah untuk menjadi Hakim Agung, bahkan
Ia sempat dipenjara dan dihukum dera setiap hari selama 15 hari. Karena tidak
berhasil membujuk Hanifah memangku jabatan Hakim Agung, Khalifah al-Mansyur murka dan memanggilnya menghadap, di Istana Abu
Hanifah disugihi racun lalu dikembalikan ke penjara dan meninggal di penjara.[21]
Beberapa karya tulisnya yang memuat pendapatnya yang disusun para muridnya
antara lain: al-Madsuth, al- jami’u
‘l-kabir, Al-Sayru ‘l-Shaghir, al-‘l-Kabir, dan al-Ziyadah. Abu Hanifah dijuluki sebagai Bapak Ilmu Fiqih.[22]
Mazhab Hanafi dikembangkan berdasarkan Al
Qur’an, Sunnah Rasul, fatwa para
sahabat, qiyas, istihsan, adat dan ‘uruf masyarakat. Sikap Abu Hanifah
terhadap hadits sangat hati-hati dan
selektif. Ia lebih banyak menggunakan qiyas
dan juga istihsan. Hal ini ada
hubungannya dengan daerah pertumbuhan mazhab
ini yang jauh dari Madinah dan Mekah, tempat tinggal kebanyakan sahabat
Nabi. Karena itu mazhab Hanafi
seringkali disebut sebagai aliran ahlu ‘l-rayu yang lebih mengutamakan
rasio. Perkembangan mazhab Hanafi
cukup luas karena peranan murid-murid Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf (wafat
tahun 731 M) yang pernah menjadi Hakim agung di Baghdad, Muhammad bin
Hasan (wafat tahun 738 M) dan Zufar
(wafat tahun 707 M). Ada ulama penganud mazhab
ini yang membagi fiqih Abu Hanifah
menjadi 3 tingkatan: 1) tingkatan pertama (masa-ilul
ushul) kitabnya berjudul Dhohiru
Riwayah, berisi kupasan dan ketetapan masalah agama oleh Imam Hanafi
bercampur buah pikiran para sahabat Imam Hanafi yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin
Hasan dan lainnya; 2) tingkatan kedua (masa-ilun
Nawadir) tentang masalah-masalah agama, diriwayatkan oleh Imam Hanafi dan
para sahabatnya, kitabnya Haruniyyar,
Jurjaniyyat dan Kaisaniyyat
(Muhammad bin Hasan), serta Al Mujarrod
(Hasan bin Iyad); 3) tingkatan ketiga (Al
Fatawa wal Waqi’at) berisikan masalah-masalah agama dari para ulama mujtahid mazhab Hanafi yang datang
kemudian, karena keterangannya tidak mereka dapat pada pendahulunya, seperti
kitab Al Fatawa wal Waqi’at pertama
yaitu An Nawasil (Abdul Laits As
Samarqondy, wafat 375 H).
Mazhab Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh dalam Islam sunni. Suatu mazhab yang dikenal sebagai mazhab
paling terbuka kepada idea modern. Mazhab
ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam sunni Mesir, Turki, sub-benua India dan sebahagian Afrika Barat,
walaupun pelajar Islam seluruh dunia belajar dan melihat pendapatnya mengenai
amalan Islam. Mazhab Hanafi merupakan
mazhab yang dianut dengan sekitar 30%
pengikut. Kehadiran mazhab ini tidak boleh dilihat sebagai perbedaan mutlak
seperti dalam Kristian (Prostestan dan Katolik) dan beberapa agama lain.
Sebaliknya ini merupakan perbedaan yang sehat melalui pendapat yang logis dan
idea dalam memahami Islam. Perkara pokok seperti akidah atau tauhid masih
sama dan tidak berubah.
Dasar – dasar pokok dari mazhab Hanafi
berpegang pada :
1) Al Qur’an;
2) Sunnah
Rasul SAW beserta peninggalan-peninggalan
sahih yang telah masyhur di
antara para ulama;
3) Fatwa-fatwa para sahabat;
4) Qias;
5) Istihsan; Secara bahasa istihsan berarti menganggap
baik sesuatu (hasan), adalah
salah satu cara menetapkan hukum di
kalangan ahli ushul fikih. Melalui
metode istihsan, seorang mujtahid meninggalkan hukum yang
didasarkan atas qias jali (analogi
yang jelas persamaan illatnya) ke
hubungan baru yang berdasarkan atas qias
khafi (persamaan illatnya
tersamar) atau dari hukum yang didasarkan pada dalil kulli (alasan yang bersifat umum) ke hukum yang didasarkan atas
dalil juz’i (alasan yang bersifat
khusus). Salah satu contoh mengqiaskan wakaf kepada sewa-menyewa dan tidak
kepada jual-beli, karena lebih mengutamakan segi kemanfaatannya daripada segi
perpindahan hak milik. Perpindahan hukum itu lebih tepat. Metode istihsan ini lebih banyak digunakan
dikalangan ulama Hanafiyah sebagai
salah satu dasar pokok mazhab Hanafi dan ditolak keras dikalangan
ulama Syafi’iyah.
6) Adat beserta ‘uruf umat.
Penganut mazhab Hanafi terdapat banyak di anak
daerah India, Turki, Afganistan, Kawasan Balkan, China dan Rusia.[23]
Disamping Turki dan India, juga Turkestan, Propinsi-propinsi Buchara dan
Samarkand.[24] Juga di
Asia Tenggara mendapat beberapa pengikut.
[1] Prof.Dr. KH. Said Agil Siraj, Republika: 26-03-2007
[2] Qodi’Iyad Ibn
Musa Al Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah
Muhammad SAW Keistimewaan Personal Keteladanan Bersalah, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 812
[7] Al-Amru bil Ittiba’, As-Suyuthi, hal 152-154,
tahqiq Mustofa Asyur; Ijtima’ul Juyusyil
Islamiyah, Ibnul Qayyim hal 165.
[10] Manaqib Asy-Syafi’i, Baihaqi hal 1-412, 413; Ushul
I’tiqad Ahlis Sunnah, Al- Lalikai, hal 2 - 702; Siyar
A’lam An-Nubala’, hal 10 – 79, 80; Ijtima’ Al-Juyusy Al- Islamiyah,
Ibnul Qayyim, hal 94.
[11] Al-Mizanul Kubra, Asy-Sya’rani, hal 1-60, As-Sunnah
dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits yaitu apa yang datang dari Rasulullah selain Al-Qur’an.
[17] Budi Munawar, Rachman,
Argumen Pengalaman Iman Neo-Sufisme Nurcholish Madjid, dalam Tsaqafah, Vol.1, no.1, 2002,
hal 56
[20] Qodi’Iyad Ibn Musa Al
Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah
Muhammad SAW : Keistime- waan Personal Keteladanan Bersalah, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 786
http://goesmul.blogspot.co.id/2012/03/mengenal-perbedaan-mazhab.html
Perbedaan Dan Persamaan 4 Madzab dalam Islam
Daftar Isi
1. Perbedaan Pendapat Tentang Hal-hal yang Membatalkan Wudhu
A.
Keluar Sesuatu Dari Dua Jalan
Keluar
sesuatu dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti buang air kecil, buang air
besar, keluar madzi, (air kuning encer yang biasanya keluar dari qubul ketika
seseorang merasakan nikmat.
Pendapat
dari empat mazhab yaitu
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
B.
Tidur
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
-
tidur dengan berbaring miring
-
tidur telentang diatas
punggungnya
-
tidur diatas salah satu pahanya
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
C.
Bersentuhan Laki-laki dan perempuan
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
-
Sudah baligh
-
Merasakan kenikmatan/rangsangan
sesudah terjadi sentuhan sengaja atau tidak
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
2. Perbedaan Pendapat Tentang Kewajiban Membaca Al-Fatihah Dalam Sholat
Membaca Al-fatihah merupakan rukun disetiap rakaat dalah sholat,
telah shahih dari Rasulullah bahwa beliau membacanya disetiap rakaat dan ketika
beliau mengajari orang yang tidak pas dalam sholat maka beliau memerintahkan
untuk membaca Al-fatihah, sebagaimana sabda beliau yang artinya “Tidak sah
sholat bagi orang yang tidak membaca Al-fatihah” (Muttafuq Alaihi).
Para imam mazhab berpendapat bahwa membaca surat fatihah adalah
wajib bagi imam dan bagi orang yang sholat sendirian (munfarid) pada duaa
rakaat subuh dan pada rakaat pertama dan kedua sholat yang lain.
Berikut
ini adalah pendapat dari 4 imam mazhab yakni sebagai berikut:
A.
Imam Hanafi
Membaca surat Al-fatihah dalam sholat fardhu tidak diharuskan,
dan membaca bacaan apa saja dari Al-Qur’an itu boleh. Berdasarkan Al-Qur’an
surat Al-Muzammil ayat 26. Artinya:
“...Bacalah apa yang (mudah bagimu) dari Al-Qur’an...(Q.S Al-Muzzammil: 20).
Membaca Al-fatihah itu hanya diwajibkan dua rakaat pertama,
sedangkan pada rakaat ketiga pada sholat magrib, dan pada dua rakaat terakhir
pada sholat isya’ dan ashar maka bacalah, jika tidak, bacalah tasbih, atau
diam.
Boleh meninggalkan bassmalah, karena ia tidak termasuk bagian
dari surat. Dan tidak disunahkan membaca dengan keras atau pelan (sir). Orang
yang sholat sendiri ialah boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca
ddengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras) dan
bila suka dibaca secara sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam sholat itu
tidak ada qunut kecuali pada sholat witir. Sedangkan menyilangkan dngan dua
tangan adalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama meletakkan
telapak tangannnya yang kanan diatas belakang telapak tangan yang kiri dibawah
pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakan dua tangannya
diatas dadanya.
Jadi, menurut mazhab imam hanafi tentang membaca surat
Al-fatihah adalah:Imam Hanafi: “Sesungguhnya bacaan Al-fatihah bagi
makmum dibelakang imam adalah makruh dan bisa berdosa baik dalam sholat
berjamaah Sirriyyah (zhuhur dan ashar)ataupun jahriyah(subuh, magrib dan isya)
karena banyaknya hadits-hadist yang diriwayatkan mengenai pengalaman pelarangan
membaca apapun bagi makmum yang berjamaah”.
B.
Imam Syafi’i
Mazhab As-syafi’iyah mewajibkan makmum dalam sholat jama’ah
untuk membaca surat Al-fatihah sendiri meskipun dalam sholat jahriyah (yang
dikeraskan bacaan imamnya). Tidak cukup hanya mendengaran bacaan imam saja. Hal
ini didasarkan pada. Artinya: “Tidak ada yang namanya
sholat tampa adanya bacaan surat al-kita (Al-fatihah)”. (HR.Bukhari, Azam/714;
Tirmizi, 247).
Kemudian juga didasarkan pada hadits dia berkata: Rasulullah saw
bersabda: dari Abu hurairah. Artinya: “Barang
siap yang tidak membaca Al-fatihah maka sholatnya kurang, tidak sempurna. (HR.
Muslim no. 359).
Karena itu mereka menyebutkan bahwa ketika imam membaca surat
Al-fatihah, makmum baru mendengarkannya, namun begitu selesai mengucapkan,
masing-masing makmum membaca sendiri-sendiri surat Al-fatihah secara sirr
(tidak terdengar). Hal ini didasarkan dengan surat Al-araaf: 204).
Artinya;
“dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (Q.S Al-araf: 204).
Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat
Al-fatihah gugur dalam kasus seseorang makmum yang tertinggal dan mendapati
imam sedang ruku’. Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku’ bersama imam dan
sudah terhitung mendapat satu rakaat.
Membaca Al-fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada
bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik
pada sholat fardhu maupun sholat sunnah.
C.
Imam Maliki
Imam Malik berpendapat, bahwa makmum wajib membaca fatihah pada
sholat sir dan tidak wajib pada shalat jahar. Artinya
dan apabila dibacakan al quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (q.s al-araf: 204).
D.
Imam Hambali
Wajib membaca Al-fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya
disunahkan membaca surat Al-Qur’an pada dua rakaat yang pertama. Dan pada
sholat subuh, serta dua rakaat pertama pada sholat magrib dan isya’ disunahkan
membacanya ddengan nayring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara
membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras.Qunut hanya pada
sholat witir bukan pada sholat-sholat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua
tangan disunatkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah
meletakkan tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan
meletakkan dibawah pusar. (Mughniyah: 2001).
3. Perbedaan Pendapat Tentang Penentuan Awal Puasa
Puasa Ramadhan adalah puasa yang telah ditentukan jumlah
bilangan hari dan waktu pelaksanaannya, yakni satu bulan penuh. Ada yang
berjumlah 30 hari ada pula yang berjumlah 29 hari. Perintah puasa pertama kali
adalah pada tahun ke-2 Hijriah. untuk
menentukan awal dan akhir bulan ramadhan dapat dimulai dengan salah satu sebab
sebagai berikut: Dengan cara rukyatul hilal, yaitu
dengan melihat bulan sabit tanggal satu bulan qamariyah dengan mata telanjang.
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “maka
diantara kamu sekalian yang menyaksikan akan adanya awal ramadhan haruslah ia
puasa”(QS. AL-Baqarah:185)
Oleh
para ulama masih dipersoalkan tentang Hilal (melihat bulan):
A.
Menurut Imam Hanafi
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
B.
Menurut Imam Maliki
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
C.
Menurut Imam Syafi’i
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
D.
Menurut Imam Hambali
Diterima,apabila hilal itu dilihat (perkadaan) 1 orang mukallaf
(laki-laki/perempuan, merdeka/hamba) yang adil, baik adil secara zhahir maupun
secara batin. Baik cuaca cerah /mendung dan mengucapkam ashadu.
kesimpulan hukum bahwa permulaan puasa itu harus berdasarkan
atas rukyat bila cuaca cerah; dan atas dasar istikmal (menggenapkan jumlah
bilangan bulan Sya'ban) bila cuaca buruk, misalnya karena mendung sehingga
tidak memungkinkan dilakukan rukyat.
4. Perbedaan Pendapat Tentang Penentuan Niat Puasa
Sebagaimana diketahui, bahwa niat itu adalah salah satu rukun
dri puasa, namun bukan saja puasa, tetapi semua ibadah harus dimulai dengan
niat yang ikhlas kepada Allah.
Nabi
bersabda:
اءنماالا عما ل با لنيا ت ...... (رواه البخارى ومسلم)
“sesungguhnya
segala amal itu hendaklah dengan niat…” (HR. Bukhari muslim)
Mengenai waktu niat, terdapat perbedaan
pendapat:
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
5. Perbedaan Pendapat Tentang Zakat Tanaman dan Pangan
A.
Maliki dan Syafi’i
Berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman
yang meerupakan kebutuhan pokok dan dapat disimpan seperti gandum, beras, kurma
dan anggur.apabila pengairan perlu biaya 5%, sedangkan kalau tidak di airi 10%.
Landasan
yang dipakai oleh imam maliki dan syafi’i adalah :
Artinya: dan
Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung,
pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang
serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya
(yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari
memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan. (Al-An’am:
141).
B.
Abu Hanifah
Berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada segala
sesuatu yang ditanam baik hubab (biji-bijian) Tsimar (buah-buahan) dan
sayur-sayuran. Beliau melihat umum ayat yakni pada surah Al-An’am 141 dan
Al-Baqarah 267.
C.
Hambali
Berpendapat
bahwa semua tanaman dan buah-buahan yang ditimbang dan yang disimpan wajib
dizakatati.
6. Perbedaan Pendapat Tentang Zakat Melalui Badan Amil
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
mendefinisikan Amil sebagai orang yang bekerja mengurusi Zakat,
sedang dia tidak mendapat upah selain dari zakat tersebut. Mażhab ini
merumuskan ‘Amil sebagai berikut: “Amil zakat yaitu orang-orang yang
dipekerjakan oleh Imam (pemerintah) untuk mengurus zakat. Mereka adalah para
karyawan yang bertugas mengumpulkan zakat, menulis (mendatanya) dan memberikan
kepada yang berhak menerimanya”. Dimasukkannya Amil sebagai Asnaf menunjukkan
bahwa Zakat dalam Islam bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada
seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah (bahkan menjadi tugas
negara).
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
memberikan pengertian yang lebih umum yaitu orang yang diangkat
untuk mengambil dan mengurus zakat.
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
yaitu pengurus zakat, yang diberi zakat sekadar upah pekerjaannya
(sesuai dengan upah pekerjaanya).
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
lebih spesifik yaitu pengurus zakat, penulis, pembagi,
penasihat, dsb. Syarat amil harus adil dan mengetahui segala hukum yang
bersangkutan dengan zakat.
7. Perbedaan Pendapat Tentang Gaji Atau Upah Minimum Yang Bisa Di Terima Oleh Amil
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
mengatakan bahwa kadar upah atau gaji yang diberikan kepada
mereka adalah disesuaikan dengan pekerjaan atau jabatan yang diemban yang
kira-kira dengan gaji tersebut ia dapat hidup layak. Ukuran kelayakan itu
sendiri sangat relatif, tergantung pada waktu dan tempat. hanya saja,
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
membatasi pemberian gaji atau upah Amil tersebut jangan
sampai melebihi setengah dari dana yang terkumpul.
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
membolehkan pengambilan upah sebesar 1/8 (seperdelapan) dari
total dana zakat yang terkumpul. Bahkan ada juga pendapat ulama sebagai bentuk
hati-hati upah amil bisa diambil 10% dari total zakat yang terkumpul.
Pelaksanaan zakat melalui amil zakat dari muzakki untuk kemudian disalurkan
pada mustahik,menunjukkan kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal
kariatif (kedermawaan) , tetapi ia juga suatu kewajiban yang juga bersifat
otoriatif (ijibari)
8. Perbedaan Pendapat Tentang Adanya Saksi dalam Thalaq
A. Pendapat
jumhur ulama fuqaha
Menurut jumhur ulama, baik salaf maupun khalaf
(tradisional dan modern) berpendapat, bahwa talak itu sah tanpa ada saksi.
Karena hal itu merupakan hak orang laki-laki (suami). Tidak ada nash yang
menetapkan adanya saksi dalam talak Allah SWT sendiri telah memberikan hak
talak berada di tangan laki-laki (suami) dan bukan wanita (istri), sebagaimana
firmannya dalam surat Al-Ahzab : 49.
B. Pendapat
imam mazhab yang empat
Mazhab yang empat tidak mengisyaratkan akan adanya
saksi didalam thalaq, adapun keempat mazhab tersebut adalah mazhab Syafi’i,
Maliki, Hambali, dan Hanafi.
C. Pendapat
ulama syi’ah imamiyah
Mazhab Imamiah berpendapat bahwa harus ada saksi
didalam talak, dan saksi merupakan rukun dari pada talak.Para ulama
mazhab Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariah danIsmailiyyah mengatakan
bahwa, talak tidak dianggap jatuh bila tidak disertai dua orang saksi laki-laki
yang adil.
.
9. Perbedaan Pendapat Tentang Wali dalam Nikah
A.
Menurut Imam
Syafi’i, Hambali, Maliki
Jumhur Ulama (selain hanafiyah) berpendapat bahwa suatu
perkawinan tidak sah tampa ada wali. Sebagain besar ulama fiqih berpendapat
bahwa seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya atau orang lain. Jika
dia menikah tampa wali maka pernikahannya batal atau tidak sah. Sebagai
dasar yang mereka pergunakan adalah firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah: 232. Artinya:
“...Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya...(Q.S Al-Baqarah: 232).
Firman Allah diatas adalah mengenai apabila seseorang wanita
ditalak oleh suaminya, maka setelah habis masa iddahnya, si wanita itu boleh
menikah dengan bekas suaminya (ada ketentuannya setelah talak tiga)atau
laki-laki lain. Para ulama tidak boleh mengahalngi atau melarang bila ada
kesepakatan antara kedua calon mempelai, terutama bagi wanita yang masih gadis.
Dalam keadaan tertentu, hakim dapat bertindak sebagai wali, karena wali harus
ada dalam perkawinan.
Suatu perkawinan tidak dipandang sah, kecuali ada wali
sebagaimana dinyatakan dalam hadits H.R Lima orang ahli hadist yang artinya: “Tidak
sah nikah, kecuali dengan wali” (H.R Lima orang ahli hadits).
Dari hadits diatas dapat kita pahami, bahwa seorang wanita boleh
mengawinkan dirinya bila telah tampa izin dari walinya, karena si wanita tidak
mempunyai wewenang untuk itu. Apabila telah mendpat izin dari wali, namun oleh
beberapa sebab, (tempat tinggal jauh dsb) wali itu tidak dapat menikahkan
secara langsung, maka hakim (penghulu) yang menjadi walinya. Kekurangan dan
kelebihan dari pendapat jumhur ulama.
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
adanya rasa aman yang
timbul sebab adanya izin dari wali, sebab perrnikahan merupakan sebuah pilihan
hidup yang akan dijalani seseorang, maka wanita dengan pilihan hidupnya harus
berdasarkan pengetahuan wali.
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
adanya diskriminasi terhadapperempuan dimana dia tidak boleh
melakukan transaksi untuk dirinya, serta menganggap wanita pada drajat yang
lebih rendah dari pada kaum pria.
B.
Menurut Imam Hanafiah
Abu hanifah, zufar, sya’bydan zury berpendapat, bahwa seorang
wanita boleh menikahkan dirinya tampa wali, asal saja calon suami-istri itu
kufu (setara), dan maharnya tidak kurang dari mahar yang berlaku pada
masyarakat sekitar. Apabila wanita itu menikah dengan orang yang tidak sekufu
dengannya maka walinya boleh membatalkan nikah. Sebagai
landasan yang dikemukakan oleh golongan hanafiyah adalah firman Allah yang
berbunyi:
Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah
Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin
dengan suami yang lain...(Q.S Al-baqarah: 230)
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
pendapat abu hanifah tentang
wanita diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri mengangkat derajat yang lebih
terhormat, dimana wanita pada pergeseran zaman dan keadaan mengalami
perkembangan sehingga wanita berada pada posisi yang sama dengan laki-laki.
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
jika nikah tidak diharuskan dengan adanya wali, maka akan banyak
orang menikah seenaknya tampa izin wali yang bersangkutan.
C.
Urutan Wali Dan Syarat-Syarat
Wali
Orang
yang sah menjadi wali ialah:
1. Bapak
2. Datuk (kakek),
bapak dari pabak
3. Saudara lelaki
kandung
4. Saudara lelaki
sebapak
5. Anak laki-laki
dari saudara laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki
dari dari sudara laki-laki sebapak
7. Saudara bapak
yang laki-laki (aman)
8. Anak laki-laki
dari paman
9. Hakim
10. Perbedaan Pendapat Tentang Zul Arham
A.
Pengertian
Zul
Arham berasal dari bahasa arab “Arham” bentuk jamak “Rahim” yang berarti rahim
atau kandungan. Tegasnya disebut hubungan darah secara syariat Zul Arham adalah
hukum karabat yang lain dari pada Dzul Furudh dan ‘Ashabah yaitu anggota
keluarga digaris ibu, baik laki-laki maupun perempuan yang ditentukan bagiannya
dalam Al-Qur’an yaitu anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, anak
perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak.
Menurut
bahasa Dzul Arham adalah orang yang mempunyai kerabat secara mutlak, baik dia
Shahih Furudh atau Ashabah atau bukan. Sedangkan dalam pengertian istilah Dzul
Arham adalah segala kerabat yang bukan Shahih Furudh dan bukan pula Ashabah.
Jadi, Zul Arham itu berarti orang yang mepunyai hubungan darah dengan si mati.
Dasar
hukum yang menjelaskan bahwa Zul Arham berhak mewarisi yaitu dalam surat
Al-Nisa’ Ayat 7 : Artinya : ” Bagi orang
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya...
B.
Perbedaan
Pendapat Ulama Terhadap Zul Arham.
Berikut perbedaan pendapat ulama dalam memberikan pengertian
tentang zul Arham ini, yaitu sebagai berikut :
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
Pendapat
ini dikembangkan oleh ahli hukum islam mazhab syafiyah seperti al-Baqawy dan
al-Mutawally (pada awalnya pendapat ini didasarkan kepada ijtihad Alibin Abi
Thalib). Pendapat ini intinya mengemukakan bahwa diantara para ahli waris
terdapat kelompok keutamaan yanitu kelompok yang satu lebih utama dari kelompok
yang lainnya, mahzab ini mengelompokkannya sebagai berikut :
i.
Kelompok Banuwwah yaitu yang
terdiri dari anak-anak, cucu dan seterusnya kebawah.
ii.
Kelompok Ubuwwah yaitu terdiri
dari kakek dari ibu, nenek dari kakek dan seterusnya ke atas.
iii.
Kelompok Ukhuwwah yaitu terdiri
dari anak-anak saudara atau kemenakan.
iv.
Kelompok Umumah yaitu terdiri
dari paman, bibi dan anak keturunannya.
Menurut
kelompok ini, selama ada kelompok yang terdekat. Maka kelompok yang lainnya
tidak menerima warisan, dengan kata lain kelompok yang terdekat lebih utama
dari kelompok yang lainnya.
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
Mahzab
ini dikembangkan dengan Imam Maliki, Syafi’i dan Ahmad Ibn Hambali. Menurut
pendapai ini untuk menentukan siapa yang lebih berhak diantara Zul Arham untuk
memperoleh warisan dari sipewaris adalah dengan cara menempatkan mereka pada
kedudukan ahli waris yang menghubungkan mereka kepada sipewaris, selanjutnya
mereka diturunkan satu persatu.
Misalnya
: cucu perempuan dari garis perempuan didudukan sebagai anak perempuan, anak
perempuan dari saudara laki-laki didudukan sebagai sudara laki-laki, anak
perempuan saudara perempuan didudukkan sebagai ayah, saudara perempuan ibu
didudukan sebagai ibu dan seterusnya.
![*](file:///C:/Users/Lely/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
Tokoh
penting mazhab ini adalah hasan Ibn Zirah, menurut ungkapan Fathur Rahman
pendapat / mazhab ini tidak berkembang, sebab pendapat ini tidak mudah di
terima. Karena prinsip mazhab ini semua Keluarga yang statusnya Zul-arham
mempunyai kedudukan yang sama tanpa melihat dari kelompok mana mereka berasal,
dengan istilah lain seluruh Zul-arham disamarkan kedudukannya terhadap harta
warisan tersebut.
Selain
yang diatas ada pula perbedaan para ulama tentang apakah mereka dapat menerima
warisan atau tidak, jika tidak kepada siapa harta warisan itu diserahkan,
sementara tidak ada ahli waris yang akan mewarisinyayaitu sebagaia berikut :
i.
Imam Malik, Syafi’i, Zaid Ibn
Zabit dan mayoritas ulama Amsar berpendapat bahwa ahli waris Zul-Arham tidak
dapat menerima warisan.” Dari kalangan sahabat-sahabat tabi’i berpendapat
yang demikian adalah ibnu Abbas, Said Ibnu al-Musayyab, Sa’ad Ibn Zubair,
Sofyan al-sauri, Al-Auza’i, dan ikuti oleh Ibnu Hazm, bahwa harta peninggalan
simati diserahkan kebait Al-Mal.
ii.
Abu Bakar, Umar Bin Khatab,
Usman, Ali, Ibnu ‘Abbas dalam satu pendapatnya yang Mashur , Ibnu Mas’ud dan
Mu’az Ibnu Jabal mengatakan bahwa “ ahli waris zul Arham
dapat menerima warisan, apabila simati tidak mempunyai ahli waris ashabah dan
al-furud.
C.
Penyelesaian
dalam Pembagian Haknya
Ahli
waris yang termasuk zul Arham dikelompokkan oleh kalangan syafiyah kepada :
1. Anak
dari anak perempuan (cucu melalui anak perempuan).
2. Anak
dari saudara perempuan, baik kandung, seayah maupun seibu.
3. Anak
perempuan saudara laki-laki.
4. Anak
perempuan paman.
5. Paman
seibu.
6. Anak
paman seibu.
7. Saudara
laki-laki ibu.
8. Saudara
perempuan ibu.
9. Saudara
perempuan ayah.
10. Anak
saudara seibu.
11. Bapak
dari ibu.
Cara
penyelesaian dalam pembagian harta warisan dikalangan ahli waris Zul-Arham ada
2 cara yang dikemukakan oleh ualama yaitu :
1. Secara
Penggantian
Ahli waris Zul Arham menerima hak kewarisan menurut yang
diterima oleh ahli waris terdekat yang menghubungkannya kepada pewaris. Contoh
ahli waris terdiri dari : ayah dari ibu, anak dari perempuan. Maka ayah dari
ibu mendapat 1/6 menggantikan ibu dan anak dari anak perempuan mendapat ½
menggantikan anak perempuan.
2. Secara
Kedekatan
Ahli
waris Zul Arham menerima warisan berdasarkan kedekatannya kepada pewaris,
artinya membagi harta warisan kepada ahli waris sebagaimana yang berlaku pada
kewarisan ashabah. Alasannya yang dikemukakan oleh kelompok yang menganut cara
ini adalah bahwa ahli waris Zul Arham ini pada akikatnya adalah ashabah.
Ashabah yang hakiki di tempati oleh pihak laki-laki, sedangkan ashabah dalam
bentuk ini adalah perempuan atau laki-laki melalui perempuan misalnya : ahli
waris terdiri dari ayah dari ibu dan anak saudara ibu, maka harta warisan akan
di warisi oleh kakek, karena kakek lebih dekat hubungannya dibandingkan dengan
anak saudara ibu.
Hadis
Nabi yang Artinya : Dari Amir Bian
Muslim dari Thawas dari ‘Aisyah berkata : Rasul SAW bersabda : saudara
laki-laki Ibu menjadi ahli waris bagi yang tidak ada ahli warisnya. (HR. At -
Tarmizi)http://lelysholehah.blogspot.co.id/2015/04/perbedaan-dan-persamaan-4-madzab-dalam.html
Persamaan dan Perbedaan Sholat 4 Mazhab
Shalat merupakan rukun kedua dari lima rukun Islam. Umat Islam sepakat bahwa menjalankan ibadah shalat 5 waktu (subuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isya’) adalah kewajiban. Tapi ternyata banyak perbedaan dalam menjalankan ibadah shalat, meskipun hukumnya sama-sama wajib.
Dari dulu aku sering bingung (dan dilanjutkan bengong) atas perbedaan-perbedaan shalat umat Islam. Tapi kebingunganku sekarang jadi sedikit tercerahkan. Makashii banget buat pak nurul yakin atas tugasnya untuk membandingan pendapat 4 mazhab tentang shalat wajib.
Ini ringkasan tugas yang aku kerjain bareng temen-temen sekelompok :
Isi :
Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban shalat wajib lima waktu atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena shalat termasuk salah satu rukun Islam. (Mughniyah; 2001)
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali : Harus dibunuh, Hanafi : ia aharus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia shalat. (Mughniyah; 2001)
Rukun-rukun dan fardhu-fardhu shalat : (Mughniyah; 2001)
- Niat : semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. (Mughniyah; 2001)
- Takbiratul Ihram : shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah saw : (Mughniyah; 2001)
Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). (Mughniyah; 2001)
Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab. (Mughniyah; 2001)
Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. (Mughniyah; 2001)
- Berdiri : semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya. (Mughniyah; 2001)
Maliki : bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. (Mughniyah; 2001)
- Bacaan : ulama mazhab berbeda pendapat.
”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus shalah).
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan aalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pad shlat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)
Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus pada setipa rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah; 2001)
Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar. (Mughniyah; 2001)
Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001)
”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
- Ruku’ : semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan : (Mughniyah; 2001)
Subhaana rabbiyal ’adziim
”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Hambali : membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. (Mughniyah; 2001)Kalimatnya menurut Hambali :
Subhaana rabbiyal ’adziim
”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri). (Mughniyah; 2001) Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan :
Sami’allahuliman hamidah
”Allah mendengar orang yang memuji-Nya”
- Sujud : semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setipa rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. (Mughniyah; 2001)
Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan. (Mughniyah; 2001)
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud. (Mughniyah; 2001)
- Tahiyyat : tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib. (Mughniyah; 2001)
Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi :
Attahiyatu lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera”
’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Maliki (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Syafi’i : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah
”Kehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Hambali : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Allahumma sholli ’alaa muhammad
”Ya Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad”
- Mengucapkan salam (Mughniyah; 2001)
Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu :
Assalaamu’alaikum warahmatullaah
”Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian”
Hambali : wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib. (Mughniyah; 2001)
- Tertib : diwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan daru sujud, begitu seterusnya. (Mughniyah; 2001)
Daftar Pustaka
As’ad, Aliy. 1980. ”Fathul Mu’in”. Kudus: Menara Kudus.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2001. ”Fiqih Lima Mazhab”. Jakarta: Lentera.
Muttaqin, Zainal, dkk. 1987. ”Pendidikan Agama Islam Fiqh”. Semarang: PT Karya tiga Putra.
Rasjid, Sulaiman. 2010. ”Fiqh Islam”. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Ridlwan, Dahlan, dkk. 2005. ”Fiqh”. Jakarta : Media Ilmu.
Rifa’i, Mohammad. 1976. ”Risalah Tuntunan Shalat Lengkap”. Semarang : PT. Karya Toha Putra.
<http://ajaranalqurandansunnah.blogspot.com>
https://jejakjejakjejak.wordpress.com/2011/07/27/persamaan-dan-perbedaan-sholat-4-mazhab/