Rabu, 07 Mei 2014

sospol

Pemikiran politik machiavelli (Politik Barat) 1. Sejarah Pemikiran Machiavelli tentang Politik dan Kekuasaan. Machiavelli adalah seorang filsuf yang hidup dalam zaman renaisans. Lahir tahun 1469 di Florence, italia. Namanya cukup terkenal dalam ilmu politik bahakan menjadi salah satu tokoh dalam filsafat politik. Sebagai salah satu tokoh yang terlibat dalam dunia politik dan ketika Machiavelli berumur dua puluh Sembilan tahun memperoleh kedudukan tinggi dipemerintahan sipil di Florence. Selama empat belas tahun sesudah itu dia mengabdi kepada republic Florentine dan terlibat dalam berbagai missi diplomatic atas namnaya, melakukan perjalanan ke prancis, jerman dan didalam negeri italia. Machiavelli menulis beberapa buku, dua diantaranya yangpaling masyhur adalah The Prince, (Sang Pangeran) ditulis tahun 1513, dan TheDiscourses upon the First Ten Books of Titus Livius (Pembicaraan terhadap sepuluhbuku pertama Titus Livius). Machiavelli tumbuh dibawah hukum anggota dinasti Medici yang mendapat gelar Lorenzo the Magnificent dari masyarakat Florentine, dan zaman Lorenzo sering dilukiskan sebagai zaman Agustus dari Renaissance Italia. Lorenzo sendiri adalah humanis terhormat, penyair dan menjadi panutan (patron) seniman maupun kalangan terpelajar. Pada saat itu Machiavelli adalah sebagai ahli teori dan figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa renaissance. Dua buku yang terkenalnya adalah Discorsi sopra la prima deca di tito livio (Diskursus tentang Livio) dan II Principe (Sang Pangeran), awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi pemerintahan di Italia Utara. Karya Machiavelli itu membuatnya dikenal sebagai seorang ilmuwan politik Renaisans. Namun ada beberapa ilmuwan politik yang menentangnya karena menurutnya Machiavelli bukanlah seorang ilmuwan politik karena ia kurang memiliki basis metodelogi dan pemikiran politik yang sistematik. Jdi tujuan kepentingan politik pribadi Machiavelli dengan penulisan buku itu. Machiavelli berharap dengan saran-saran dan nasehat politiknya ia bias merikrut sebagai pejabat pemerintahan. 2. Metode-Metode Pemerintahan yang Efektif dalam Beberapa bentuk Kepenguasaan Untuk mencapai sukses, seorang penguasa harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia, Machiavelli memperingatkan penguasa agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan. seorang penguasa yang cermat tidak harus memegang kepercayaannya jika pekerjaan itu berlawanan dengan kepentingannya. The Prince (Sang Pangeran) sering dijuluki orang “buku petunjuk untuk para diktator.” Karier Machiavelli dan berbagai tulisannya menunjukkan bahwa secara umum dia cenderung kepada bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator. Machiavelli berpendapat bahwa nilai-nilai yang tinggi, atau yang dianggap tinggi, adalah berhubungan dengan kehidupan dunia, dan ini dipersempit pula hingga kemasyhuran, kemegahan, dan kekuasan belaka. Machiavelli menolak adanya hukum alam, yang seperti telah diketahui adalah hukum yang berlaku untuk manusia sejagat dan sesuai dengan sifat hukum, mengikat serta menguasai manusia. Machiavelli menolak ini dengan mengemukakan bahwa kepatuhan pada hukum tersebut, malah juga pada hukum apapun pada umumnya bergantung pada soal-soal apakah kepatuhan ini sesuai dengan nilai-nilai kemegahan, kekuasaan, dan kemsyhuran yang baginya merupakan nilai-nilai tinggi. Bahkan menurut pendapatnya inilah kebajikan. Machiavelli mengatakan bahwa untuk suksesnya seseorang, kalau memang diperlukan, maka gejala seperti penipuan dibenarkan. Misalnya, ia mengakui bahwa agama mendidik manusia menjadi patuh, dan oleh sebab kepatuhan ini perlu untuk suksesnya seorang yang berkuasa, maka perlulah agama tadi. Jadi agama itu diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung agama itu. Gagasan kekuasaan machiavelli patut dikaji setidaknya karena dua alasan, yaitu : · Gagasannya telah menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi banyak penguasa sejak awal gagasan itu dipopulerkan sampai abad XX. · Banyak negarawan dan penguasa dunia yang secara sembunyi atau terus terang mengakui telah menjadikan buku Machiavelli itu sebagai hand book (buku pegangan) mereka dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya. Misalnya Hitler dan Mussolini. Gagasan yang sama telah menjadi basis intelektual bagi pelaksanaan diplomasi kaum realis (realisme). Realisme sebagai suatu aliran penting dalam kajian diplomasi internasional, banyak mendasarkan asumsinya pada pemikiran kekuasaan Machiavelli. Dalam kaitannya dengan kekuasaan seorang penguasa Machiavelli membahas perebutan kekuasaan (kerajaan). Bila seseorang penguasa berhasil merebut suatu kerajaan maka ada cara memerintahkan negara yang baru saja direbut itu. Pertama, memusnahkannya sama sekali dengan membumihanguskan negara dan membunuh seluruh kelurga penguasa lama, Kedua dengan melakukan kolonisasi mendirikan pemukiman-pemukiman baru dan menempatkan sejumlah besar pasukan infantry di wilayah koloni serta menjalin hubungan baik dengan negara-negara tetangga terdekat. 3. Tentang Machiavelli dan Nasihat Machiavelli dalam Politik dan Kekuasaan Niccolo Machiavelli, termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan bahwa: “Seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan”. http://media.isnet.org/iptek/index/Machiavelli.html. The Prince dapat dianggap nasihat praktek terpenting buat seorang kepada negara. Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu keberhasilan, seorang Penguasa harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala, sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Machiavelli menekankan di atas segala-galanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Dia berpendapat, hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri yang bisa dipercaya; negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya. Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Dia usul, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, si penakluk mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus sehingga tidak perlu mereka alami tiap hari kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang. Untuk mencapai sukses, seorang Pangeran harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan. Menurut Asvi Warman Adam bahwa “Sejarah mengajarkan kepada kita apa yang tidak dapat kita lihat, untuk memperkenalkan kita kepada penglihatan yang kabur sejak kita lahir”. Wineburg (2006: vii) Namun menurut kami tujuan dari sejarah mengajarkan kita sebuah cara menentukan pilihan untuk memptertimbangkan berbagai pendapat untuk membawakan berbagai kisah dan meragukan sendiri bila perlu kisah-kisah yang kita bawakan. Filosofi politik dari Machiavelli adalah nilai-nilai yang tinggi atau yang dianggap tinggi dan penting berhubungan dengan kehidupan dunia, khususnya menyangkut kemasyhuran, kemegahan serta kekuasaan belaka, karenanya sangat menolak adanya hukum alam yang berlaku secara universal bagi seluruh manusia dan umat manusia di jagat ini. Ia menolak pandangan tersebut dengan mengemukakan bahwa kepatuhan kepada hukum tersebut bahkan hukum apapun sangat tergantung apakah semua itu sesuai dengan kekuasaan, kemasyhuran, dan kemegahan sebagai nilai-nilai tertinggi. Persoalan dasar filsafat Machiavelli adalah bagaimanakah cara seorang pemimpin itu dapat membela kekuasaannya, menjaga stabilitas keamanan negaranya dan juga kesejahteraan rakyatnya. Machiavelli adalah seorang yang realis dan tampil berhadapan dengan realitas konkret dunia politik, dunia kekuasaan dan dunia penataan negara. Menghindari keterpecahan, mencegah invasi pihak-pihak luar, mengalahkan musuh yang mengancam kekuasaan dan wibawa pemerintahan serta mempertahankan keutuhan negara dan sejenisnya adalah persoalan konkret yang dihadapi oleh Machiavelli. Niccolo Machiavelli merupakan seorang pemikir politik dan sosial yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan perpolitikan di Eropa pada abad ke 15-16 M, kontribusinya yang masih dikenal hingga saat ini adalah bukunya yang berjudul “The Prince” dimana tulisan ini hadir karena pada masanya Machiavelli melihat bobroknya sistem pemerintahan yang ada disebabkan karena lemahnya penguasa pada saat sehingga tulisannya ini merupakan jawaban bagaimana seorang penguasa seharusnya bertindak agar tetap mempertahankan kekuatannya sebagai seorang penguasa. Menurut Machiavelli seorang pemimpin bertindak berdasarkan kondisi lingkungan sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa pemimpin tersebut akan melakukan hal-hal negatif. Selain itu, menurut Machiavelli seorang penguasa harus memiliki sifat-sifat positif dan negatif hanya jika itu dibutuhkan sehingga ini akan menjadi seorang penguasa yang kuat dan dapat membawa negaranya menjadi negara yang unggul, maju dan besar. Dengan demikian dapat kita ambil benang merah dari pemikiran Machiavelli bahwa selayaknya seorang pemimpin harus dapat bersikap fleksibel sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sekitar sehingga ia dapat terus bertahan dan selain itu ia juga memiliki sifat-sifat positif maupun negatif yang diperlukan untuk memajukan negaranya. Abad pertengahan merupakan jaman dimana negara berada di bawah dominasi kekuasaan rohani gereja Katolik. Segala bentuk kekuasaan, hukum, undang-undang, serta pranata-pranata sosial masyarakat dikaitkan dengan Tuhan. Tuhan menjadi sumber dan pusat segala kegiatan manusia. Model kekuasaan ini mulai mengalami krisis ketika manusia mulai menyadari dirinya sebagai makhluk yang bebas. Awal kesadaran manusia inilah yang disebut sebagai pencerahan atau jaman Renaissance. Jaman Renaisaance memunculkan para tokoh dan filsuf besar yang berjuang melawan dominasi agama. Salah satu tokoh Renaissance yang terkenal adalah Machiavelli. Ia mempersoalkan tentang kekuasaan gereja yang sangat mendominasi negara. Ide pokok pemikirannya adalah negara jangan sampai dikuasai oleh agama, sebaliknya negara harus mendominasi agama. Menurutnya, agama dapat mendukung patriotisme dan memperkuat pranata-pranata kebudayaan. Konsep ini dibuatnya berdasarkan pemahamannya tentang agama Romawi kuno, bukan berdasarkan realitas kekristenan pada masanya. Menurutnya, agama Romawi kuno lebih bersifat integratif dibandingkan agama Kristen. Agama Romawi kuno berhasil mempersatukan negara, membina loyalitas, dan kepatuhan rakyat terhadap otoritas penguasa Romawi. Gagasan pragmatis Machiavelli tidak hendak mengatakan bahwa ia seorang ateis. Hal yang ia persoalkan dalam agama bukanlah ada tidaknya Tuhan, tetapi fungsi agama dalam kehidupan masyarakat dan politik. Dengan adanya gagasan yang demikian, sebetulnya Machiavelli berhasil memperlihatkan bahwa agama tidak sekeramat yang disangka orang. Agama hanyalah salah satu pranata dalam kehidupan bermasyarakat yang bisa difungsikan. Menurutnya, penguasa yang cakap adalah dia yang mampu melihat agama sebagai suatu kekuatan yang bisa digunakan untuk memperkuat negara atau melayani kepentingan negara. Dalam melihat fungsi dan peran agama, Machiavelli memberikan kritik terhadap cara hidup kaum klerus dan kekristenan. Ia mengkritik kekristenan yang terlalu menyanjung dan memuliakan orang-orang yang sederhana dan yang senang berkontemplasi dari pada orang yang suka bertindak. Kekristenan terlalu mengidealkan kelembutan dan kerendahan hati dan amat meremehkan hal-hal duniawi. Kekristenan juga ikut membentuk sikap egois masyarakat, sehingga masyarakat mengabaikan negara sebagai persekutuan politik dan lebih mementingkan kepuasan rohani secara pribadi. Gereja dan pemimpin agama yang seharusnya mengajarkan nilai kebaikan dan moralitas, justru menjadi penyebab kemerosotan moral dan iman yang pada akhirnya menghancurkan Italia. Dalam situasi kekacauan serta kemerosotan moral masyarakat, Machiavelli menganjurkan kepada kekristenan dan kaum klerus untuk kembali menghidupkan prinsip dan nilai awali, sehingga kekristenan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Para pemimpin Gereja yang telah menyimpang dari prinsip dasar kekristenan dihimbau untuk menghidupi kembali prinsip-prinsip yang telah diletakkan oleh pendiri. Jika kekristenan dan kaum klerus dapat hidup sesuai dengan semangat awali, maka dengan sendirinya negara dan masyarakat akan menjadi beradab. Agama dikatakan memiliki kekuatan, karena dalam agama terdapat nilai politis yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan negara. Nilai politis agama yang dimaksudkan Machiavelli antara lain adalah: agama dapat membentuk moralitas masyarakat, agama mampu mempersatukan masyarakat, agama dapat dijadikan sebagai alat bagi penguasa untuk mencapai kekuasaan, serta memudahkan suatu Negara . Berdasarkan sejarah Romawi kuno, agama dapat membangkitkan keberanian tentara. Sebagai seorang tokoh humanis sejati, Machiavelli mempelajari dan mengagumi sejarah serta karya manusia, termasuk agama pada zaman purba. Bagi Machiavelli, agama merupakan salah satu karya manusia yang patut mendapat pujian tertinggi.[35] Dalam Discoursus, Machiavelli menulis: ‘Di antara orang-orang yang pantas dipuji, yang paling pantas dipuji adalah para pemimpin dan pendiri agama-agama”.[36] Dalam menguraikan pendapatnya tentang politik agama, Machiavelli terispirasi oleh sejarah kerajaan Romawi kuno serta oleh berbagai situasi yang terjadi di sekitarnya. Berikut ini penulis memaparkan faktor-faktor yang melatar belakangi pemikiran Machiavelli tentang nilai politis agama. Machiavelli juga mempersoalkan interpretasi agama tentang semangat dan penghayatan kekristenan. Menurutnya, semangat dan penghayatan yang diajarkan oleh kekristenan adalah keliru. Ketika itu agama Kristen ditafsirkan sebagai agama bagi manusia yang lembut dan rendah hati serta yang cinta akan pengurbanan. Machiavelli menghendaki reformasi di bidang keagamaan yang menunjang perkembangan patriotisme. Reformasi yang dikehendakinya adalah usaha reinterpretasi tentang semangat kekristenan secara baru, yakni agama yang aktif dan peka terhadap realitas, agar dari sana terhembus suatu kekuatan, sehingga membangkitkan semangat masyarakat dan menyelamatkan mereka dari dekadensi moral.[44] http://zakiyudin-fikri.blogspot.com/ http://zakiyudin-fikri.blogspot.com/2013_11_01_archive.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ya ya ya